Di Jogja, bahkan mungkin di mana pun di negara ini, berjalan kaki telah menjadi hal yang sangat langka dilihat di jalanan kota. Kebudayaan baru yang penuh kemalasan mulai terbentuk di saat kekayaan semakin bertambah dan masyarakat di negara ini semakin berpendidikan. Setelah berbagai berbagai berita dan jurnalis luar mencerna betapa malasnya orang Indonesia untuk sekedar berjalan kaki. Toh, mau dikritik dan dicerna sebanyak apa pun, syaraf kemaluan masyarakat kita sudah berada dalam tahap yang mengkhawatirkan. Bisa jadi, beberapa tahun ke depan, berjalan kaki masuk dalam kategori haram.
Berapa banyak aktivis kiri yang mau berjalan kaki? Berapa banyak pecinta Tuhan yang rela menggunakan kakinya? Berapa banyak pembenci kapitalisme yang mau bersusah payah berjalan di trotoar ketika sedang ingin menuju suatu tempat, berjarak dekat? Siapa intelektual, pemikir, akademisi, penyair, sastrawan, filsuf, para terpelajar, pengusaha, dan orang-orang pinter yang jumlahnya membludak, mau berjalan kaki, dalam jarak 1-2 kilometer dari tempat tinggalnya, setiap hari, jikalau mungkin? Berapa banyak seniman, yang seharusnya lebih peka terhadap lingkungan sekitar, dan terbiasa dengan hidup bebas, mau berjalan kaki? Dan apakah para agamawan terkemuka, juga mau berjalan kaki?
Akan sangat memalukan, jika para ateis dan orang-orang tak bermoral di Barat bahkan orang Israel yang dianggap kejam, lebih suka berjalan kaki dari pada para pemeluk agama-agama di Indonesia yang sukanya mencerca keburukan negara dan masyarakat lainnya tanpa sadar bahwa dirinya sendiri sangat bermasalah. Sama bodohnya jika berteriak-teriak soal kemanusiaan jika berjalan kaki, hal yang sederhana saja, kita tolak dalam keseharian.
Di sebuah kota bernama Jogjakarta. Tempat orang terpelajar jumlahnya banyak dan para seniman jumlahnya sama banyaknya. Melihat para pejalan kaki di jalanan pada pagi, siang, hingga malam hari, benar-benar nyaris mustahil. Memang masih ada, tapi jumlahnya hanya beberapa orang saja. Atau sekedar berjalan untuk berwisata di sekitar Tugu dan Malioboro. Selain itu, jalanan Jogja nampak benar-benar suram. Mobil dan motor memanjang dalam antrian dan kemacetan. Dalam logika kasar, dunia keseharian orang-orang Jogja, entah penduduk asli atau pendatang, mencerminkan gagalnya mereka hidup dalam kategori agama, ideologi, dan kepercayaan mereka masing-masing, yang sering mereka agungkan di depan-depan publik jika memungkinkan.
Suatu saat nanti, mungkin, saat aku berjalan di beberapa trotoar kota Jogjakarta, aku akan menemukan sebuah spanduk yang bertuliskan, 'HARAM BERJALAN KAKI; HANYA MEREKA YANG BERMOBIL DAN BERMOTORLAH YANG MASUK SURGA'. Yah, siapa tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...