UNTUK APA TERUS MENULIS?

172 3 0
                                    

Untuk apa terus menulis dan melanjutkan semua naskah yang percuma? Itulah yang sering aku tanyakan pada diriku sendiri selama dua tahun terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Untuk apa terus menulis dan melanjutkan semua naskah yang percuma? Itulah yang sering aku tanyakan pada diriku sendiri selama dua tahun terakhir. Dan saat bulan Agustus 2017 aku memutuskan untuk mulai belajar menulis dan menggarap sebuah novel, kepalaku selalu dipenuhi pertanyaan yang serupa. Untuk apa kau masih terus menulis?

Menulis tak mengubah apa pun inti dari dunia ini. Dan aku sudah semakin skeptis terhadap segala jenis tulisan dan buku-buku. Mengapa aku harus menembahi dunia ini dengan kata-kata dan lembar demi lembar kalimat-kalimat yang sebenarnya percuma saja? Tidakkah semua ini semacam tindak kebodohan yang paling tak menarik?

Aku memandang dengan tatapan malu sebuah buku karya Simon Winchester, The Professor and The Madman. Sebuah novel, yang diakui secara internasional dan hanya ditulis dalam enam minggu saja. Seolah-olah buku yang ada di depanku sekarang ini benar-benar telah menghinaku secara tuntas.

Tapi aku cukup beruntung bisa bertemu Winchester saat berada di Jogja berkat Ubud Writers and Readers Festival. Kadang aku berpikir, adanya orang sebagus Winchester yang aku kagumi saat membaca Krakatoa, terlebih Jung Chang yang tulisannya sangat membekas di kepalaku selama bertahun-tahun, terlebih buku tebalnya yang berjudul Mao, membuat aku berpikir ulang apa itu arti kata 'menulis' dan 'penulis'. Sampai saat ini aku selalu enggan menggunakan kata-kata itu sebagai bentuk lain dari profesi, profesionalisme, atau sebentuk kepuasan pribadi.

Dari sekian banyak buku yang aku miliki, setelah hari ini aku pikirkan kembali, ternyata aku jauh lebih banyak memiliki buku-buku yang sebagian besarnya adalah peraih Pulitzer Prize atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia jurnalistik; entah mereka lebih fokus ke agama, perang, sains, atau yang lainnya. Tapi mereka bukan hanya sekedar seorang jurnalis saja. Tapi memiliki kemampuan besar dan bakat yang begitu baik dalam menulis dan kesabaran yang luar biasa dalam mengejar data dan fakta.

Dan seandainya dia novelis, sejarawan, psikolog, atau dalam bantuk kategori lainnya, hal yang paling utama dari sebuah buku, terutama non-fiksi adalah bagian awal dan belakang sebuah buku. Banyak buku sains atau semi-sains yang mengisahkan perjuangan mereka selama bertahun-tahun melakukan riset, bertemu dengan banyak orang, menghimpun data, meragukan data dan anggapannya sendiri, dan hal yang paling berat saat teori, gagasan, ide, dan anggapan mereka ditentang atau tak diakui oleh pihak-pihak konservatif.

Cara kebanyakan mereka menulis membuat aku begitu kecil dan benar-benar bodoh dan merasa tak tahu apa-apa. Dan terkadang aku begitu jijik dengan semua tulisan kasar yang telah aku tuliskan. Dan saat aku membaca secara singkat buku yang berisi kumpulan tulisan dari para tamu undangan dari Ubud Writers tahun ini, aku nyaris hilang kendali. 'Tulisan macam apa ini?' Dan saat aku membaca puisi-puisinya, benar-benar sangat buruk. Dan cerpen-cerpennya pun sangat biasa saja.

Dalam sekali lihat aku tahu, puisi-puisi dari Ubud yang telah aku baca, sangat lebih baik dari puisi-puisi yang pernah aku tulis. Tapi untuk apa aku mengeluh? Apakah pantas? Saat aku ingin melemparkan semua puisiku ke toilet. Puisi-puisi yang lebih buruk dari diriku ternyata merajalela sampai ke Ubud.

Rasanya benar-benar malu menjadi orang Indonesia. Saat tamu undangan dari luar negeri, memiliki tulisan semacam itu dan keberanian berkata jujur bahwa aku tak tahu dan itu bukan bidangku. Seperti saat aku bertanya pada Winchester apakah dia tertarik untuk menuliskan Kebun Raya Bogor. Dia menjawabnya, itu bukan keahlianku. Keterbukaan intelektual yang mengesankan.

Di Sore yang mendung ini, Jumat 10 November, aku mulai membaca Sebuah Masjid di Munich: Konspirasi Nazi, CIA, dan Ikhwanul Muslimin karya Ian Jonson. Menyingkirkan sejenak Dunia Tanpa Islam milik Graham E. Muller, Journey to the Center of the Earth dari Jules Verne yang hampir selesai aku baca, dan Atlantis:  The Lost Continent Finally Found karya Prof. Arysio Santos. Dan masih ada dua buku milik Richard Dawkins. Ring of Fire dari Blair bersaudara. Dan tumpukan majalah National Geographic Indonesia yang menggunung.

Membaca buku-buku sebanyak ini, dan kebanyakan di antaranya tebal, hanya untuk menulis satu paragraf atau kalimat pendek saja dalam tulisanku. Kadang aku begitu lelah dan berpikir, apakah aku memang tak memiliki bakat menulis sama sekali?

Dan aku agak sebal harus membaca ulang Eden in the East yang begitu tebal dan mengancam, karya dari Stephen Oppenheimer yang bagian awalnya memesona tapi melelahkan untuk dibaca. Untuk apa aku melanjutkan semua kekonyolan ini?

Jawabnya singkat: agar aku tidak membunuh orang lain atau diriku sendiri. Untuk saat ini, setidaknya, dalam kondisi separah apa pun, menulis dan membaca, walau aku sudah tak begitu mempercayainya lagi, mampu sedikit mengalihkan pikiran-pikiran negatifku yang setiap hari berkembang begitu cepatnya.

Sore ini aku memutuskan membawa Sebuah Masjid di Munich ke dalam tasku. Sebuah buku yang dalam pembukaan saja sudah membuatku betah dan nyaris mengingatku saat membaca karya bagus dari Lawrence Wright, yaitu Sejarah Teror. Kedua-duanya peraih Pulitzer Prize. Dan entah mengapa, aku mengabaikan begitu saja banyak penulis sastra peraih nobel dan menganggapnya tak terlalu penting.

Aku berpikir, seandainya dalam tahap sekarang ini, dengan segala kekuranganku, aku masih sangat produktif dan masih menulis cukup baik. Aku yakin, di masa mendatang, saat aku memiliki dana yang cukup atau bahkan melimpah untuk melakukan riset dan proses penulisan. Aku akan bisa menulis berbagai hal yang jauh lebih baik.

Walaupun begitu, setelah dipikir ulang, untuk apa semua ini? Entahlah. Setidaknya, dalam dua tahun terakhir ini, dalam kesakitanku yang begitu parah, aku hanya ingin sedikit membuktikan, aku tak hanya sekedar mengkritik buku berbagai macam orang tapi aku juga sedang berusaha dan mencoba membuatnya. Buku yang tengah aku bayangkan dan aku inginkan ada. Walau pada akhirnya, mungkin aku kembali gagal menuliskannya dengan lebih baik.

Atau pada dasarnya aku memang tak berbakat dan bukan seorang yang seharusnya menulis.

Atau pada dasarnya aku memang tak berbakat dan bukan seorang yang seharusnya menulis

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang