SEANDAINYA SAUT SITUMORANG MATI

172 2 0
                                    

Membayangkan Saut Situmorang mati, sejujurnya, sama menyenangkannya dengan mengkhayalkan Goenawan Mohamad mati. Di dunia Sastra Indonesia, sangat sedikit sekali kritikus dan juga luar biasa sedikitnya esais yang produktif. Seandainya dua orang itu mendadak mati, siapa yang bakal menggantikan mereka berdua? Terlebih, siapa yang bakal mau menggantikan posisi Saut Situmorang yang sangat kontroversial itu?

Abaikan kata-kata bernada binatang dan sikap blak-blakkannya yang sering menyerang hal-hal tak semestinya: dari fisik seseorang hingga identitas yang dimiliki. Yang jelas, banyak orang akan tak setuju, marah, sakit, prihatin, atau mencemoohnya. Hal-hal yang dianggap melampaui batas dan tak semestinya. Untuk urusan ini, aku serahkan saja ke polisi moral bernama masyarakat Indonesia saja. Dan komunitas sastrawan yang lebih mengedepankan etiket dan sopan-santun.

Yang tengah aku bayangkan adalah, siapakah orang yang mau bersedia mengambil sikap yang hampir mirip dengan apa yang Saut Situmorang lakukan? Berbicara keras dan blak-blakkan di dalam Sastra Indonesia dengan kemungkinan menimbulkan ketidaksukaan dan kebenciaan yang sangat besar? Di saat hampir sebagian besar sastrawan dan penyair memilih sekedar berkarya dan memilih status quo? Di mana publik luas bernama pembaca dan masyarakat Indonesia adalah orang-orang yang kekejamnnya lebih jauh tak tertandingi? Menginginkan para penulis dan kritikus yang bagus tapi tak pernah mau mendukung atau memberi bantuan ke mereka?

Siapakah yang berani menjadi kritikus sastra yang posisinya lebih mirip seorang intelektual dari pada aktivis politik? Siapa, di masa sekarang yang mau menderita semacam itu?

Jika dibandingkan dengan seorang intelektual dalam tradisi Julian Benda. Saut lebih mirip aktivis politik. Atau paling tidak, aktivis sastra. Dan inilah masalah terbesarnya. Karena banyak kritikus sastra dan sastrawan Indonesia bercorak lebih mirip para politikus bahkan semenjak Balai Pustaka. Bertemu satu meja, dalam kesungguhan diskusi dan debat, dengan seorang filsuf mungkin menjadi masa tersuram dari sejarah Sastra Indonesia. Karena aku pernah membayangkan, seorang filsuf yang mencecar ribuan pertanyaan vital ke seorang kritikus sastra, yang pada akhirnya akan dijawab hanya bagian hal-hal permukaan saja. Dalam artian, kritikus sastra Indonesia lebih seperti propaganda politik atau alat suatu sistem atau kekuasaan pada akhirnya. Batasan untuk berkata-kata secara dalam dalam perdebatan intelekual terbuka, akan sangat sulit terjadi. Dalam polemik dua kubu, biasanya masing-masing mencari pengikut layaknya partai politik. Setelah itu, yang terjadi sering kali kekebalan akan kritik.

Tak banyak orang di kalangan sastrawan mau mendaulat dirinya sebagai kritikus sastra. Posisi paling aman adalah pembaca dan komentator dunia maya, yang jumlahnya sangat berlimpah ruah. Yang permintaanya dan tuntutannya nyaris seperti anak kecil yang rewel. Dan setelah itu, deretan para sastrawan yang cukup menulis puisi, esai, cerpen, dan novel. Orang-orang ini nyaris seumur hidup menghindari konflik, konfrontasi, atau polemik bernada intelektual. Terlebih menjadi kritikus sastra adalah hal yang harus dibuang jauh-jauh karena hidup dengan identitas semacam itu akan menyulitkan banyak hal: dari buku gagal terbit. Ditolak redaktur. Dibenci pembaca. Dan diasingkan dari komunitas sejenis.

Saat Narudin dianggap melenceng dan sesat. Kenapa, dari ratusan atau mungkin ribuan sastrawan tua dan muda, tak ada yang mengajukan diri sebagai kritikus sastra menggantikan dirinya? Ini sama halnya dengan Saut yang seandainya mati, siapa yang bakal berani menggantikan posisinya? Apakah para pembencinya mau mengajukan diri menggantikan posisinya?

Saat tahu sekedar identitas bernama 'kritikus sastra' saja nyaris tak diminati. Akan sangat konyol jika banyak orang berani mendaulat dirinya menjadi seorang 'filsuf'. Dan ada harapan yang besar, ketika dua orang, Sastrawan dan Filsuf, berdiri dalam satu ruang yang sama dalam debat intelektual terbuka. Dan aku ingin lihat, sampai sejauh mana Sastrawan Indonesia kuat di dalam ruangan itu. Dan aku rasa, banyak ssstrawan Indonesia mungkin juga ogah jika dicecar berbagai pertanyaan menusuk dari Najwa Shihab. Kritikus kadang sangat mirip dengan jurnalis. Dan jika sudah menyangkut posisi yang ditanyai dan diminta pertanggunjawaban, jelas, sama-sama hal yang tak menyenangkan.

Tapi saat membayangkan Saut mati benar-benar sangat menyenangkan. Karena kemungkinan besar, dunia sastra akan terjatuh dalam apa yang hari ini Denny JA dan lainnya lakukan. Soalnya, tak banyak orang cukup berani untuk menjadi seperti dirinya. Orang sesat yang harusnya dibuang ke Barat.

Abaikan dulu kata-kata kotor dan keliarannya kalimatnya yang tak tahu arah itu. Aku hanya ingin bertanya, kamu yang biasa sok di dalam setiap komentar facebook. Beranikah kamu menggantikan Saut Situmorang dan menjaga Sastra Indonesia? Beranikah?

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang