Kasus diskriminasi ekonomi atau produk yang dilakukan oleh Parlemen Eropa terhadap minyak kelapa sawit dan juga yang pernah menimpa produk rokok milik Indonesia. Ditambah beberapa kasus yang lainya juga bisa menjadi pembahasan yang sangat menarik jika kita melihatnya dalam konteks yang cukup luas sekarang ini. Terlebih saat Indonesia berada dalam kondisi konflik identitas, kisruh pemilu, politik keagamaan, daya saing yang rendah (SDM rendah), dan masyarakat konsumen besar yang dididik sejak kecil untuk patuh terhadap negara dan hanya terfokus pada kesejahteraan ekonomi. Lalu, apa hubungan dengan diskriminasi ekonomi dan Masyarakat Ekonomi Asean atau MEA?
Indonesia adalah negara berpenduduk besar dengan luas wilayah, perairan, dan kekayaan hayati yang melimpah di bandingkan banyak negara di seluruh dunia ini. Kemerdekaan yang baru dicapai sejujurnya membuat Indonesia kewalahan memasuki sistem perdagangan bebas atau liberalisasi global semacam WTO dan MEA. Masalah terbesarnya terletak di internal negara Indonesia sendiri yang tak dewasa dan bersikap membingungkan.
Dalam diskriminasi produk dan harga. Indonesia bisa dengan lantang menolak atau keberatan terhadap putusan yang dinilai sewenang-wenang. Di lain sisi, pemerintah negara ini juga seenaknya sendiri melakukan diskriminasi terhadap berbagai macam produk milik negara luar dengan kekejaman yang tak kalah garangnya. Dari mulai vaksin, sampai kasus yang pernah menimpa telegram dan banyak aplikasi sosial lainnya sampai produksi film dan bahan makanan.
Cara mendua ini, membuat Indonesia kelak akan mengalami kesulitan di masa depan. Pasalnya, Indonesia terjebak dengan konflik identitas yang begitu parah dan agama mayoritas yang masih banyak dianut oleh warga Indonesia bisa menjadi pemicu rusaknya perekonomian negara di kemudian hari. Ditambah kemiskinan, sumber daya manusia yang tak berkualitas, sumber daya alam yang terbatas, hancurnya lingkungan akibat percepatan ekonomi disertai pemimpin yang buruk dan masyarakat yang seenaknya sendiri dan tak bijak. Jelas, akan membuat negara berada di ujung tanduk.
Sejak dahulu, Indonesia memang tak terlampau siap dengan perekonomian global yang lebih ke logika pasar bebas yang hampir seratus persen bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Budaya, masyarakat, nilai sosial, pandangan keagamaan dan filosofi hidup membuat Masyarakat Ekonomi Asean sangat tersendat dan begitu terlihat bermasalah jika diterapkan di Indonesia.
Ini terlihat dari masyarakat yang tak senang dengan para pekerja luar negeri yang didatangkan ke negara ini dan berbagai produk impor yang dicintai tapi juga dipandang sinis sebagai bukti dari sikap bimbang, egois, dan buruk dari konsumen Indonesia. Banyak orang mengeluh akan produk lokal yang tersingkir tapi begitu keranjingan dengan produk impor yang terus memelihara warga negara ini sekedar menjadi konsumen.
Sebagian besar orang mungkin sudah hidup dalam pola pikir global dan tak terlampau terikat dengan identitas tertentu atau lebih bebas dalam menilai sesuatu. Tapi tidak dengan mayoritas besar rakyat Indonesia yang berjumlah ratusan jiwa yang baru-baru ini saja keluar dari desa-desa, pertanian, laut, dan baru saja menjadi pebisnis dan orang kaya baru yang masih dalam balutan pola pikir tradisional, kedaerahan, dan keagamaan. Logika pasar bebas yang diikuti negara dan pemerintah, jelas akan mencoba menghapus atau melemahkan setiap identitas yang ada. Pasar bebas adalah logika uang, modal, atau pemikiran untung dan rugi yang jelas lebih mengacu kepencarian keuntungan dengan cara apa pun. Itu berarti, saat pemerintah memasuki gelanggang perdagangan pasar bebas baik yang bersifat global atau regional. Masyarakat secara keseluruhan atau sebagian besarnya seharusnya juga sudah siap dengan dampak dan apa saja yang akan dilakukan oleh perdagangan pasar bebas yang diikuti.
Sayangnya, pemerintah tak terbiasa memberi pendidikan dan penyuluhan terhadap warganya. Rakyat Indonesia tak banyak tahu apa itu Masyarakat Ekonomi Asian. Yang mereka tahu hanya berdagang, mencari untung, dan bersenang-senang selagi bisa. Maka saat industri lokal tergulung dan posisi tawar kita dalam perekonomian, perpolitikan, dan kekuasaan global tak terlampau banyak. Saat daya saing kita rendah dan kekuatan politik kita juga rendah. Maka yang terjadi adalah kita hanya menjadi masyarakat konsumen yang membeli barang impor-impor yang tanpa sadar akan menenggelamkan Indonesia ke dalam krisis ekonomi parah.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...