Aku tak pernah memilih siapa pun dalam politik dan pemilihan umum. Aku tak hadir. Menghilang. Tak lagi peduli.Tak memihak siapa-siapa. Tak memilih siapa-siapa. Suaraku bukan untuk siapa pun. Kecuali untuk omong kosong diriku sendiri. Sebagai laki-laki yang tak lagi percaya dengan banyak hal. Begitu juga dengan diriku sendiri.
Aku lihat, selalu saja para pemimpin yang buruk, yang jelas keburukannya di depan mata, dipilih, dicintai, diikuti, dan bahkan terkadang disembah. Mereka jelas-jelas buruk dalam artian hukum dan cara mereka berpolitik. Tapi selalu saja ada yang mencintai mereka. Mereka yang bernama rakyat; baik yang tua atau yang baru beranjak muda.
Aku tak heran. Para diktator dan banyak orang buruk di dunia ini juga memiliki pengikutnya sendiri. Juga memiliki pencapaian-pencapaiannya sendiri. Para tokoh jahat pun memiliki pengagum dan penggemar.
Kita hidup, di mana para rakyat, jika berkaitan dengan politik adalah orang-orang yang buta dan bodoh. Mereka akan tetap mengikuti apa yang mereka sukai. Bahkan jika orang yang mereka ikuti adalah pembunuh, pembohong, koruptor, atau bahkan para pelanggar hukum.
Para artis mesum pun memiliki para pencintanya tersendiri. Juga, para teroris pun memiliki para pengikut dan orang yang memuja mereka.
Rakyat, apa itu? Para orang bodoh yang berjalan ke kotak suara dengan kepala mereka yang tak berisi. Mereka, kebanyakan dari mereka, tak pernah memiliki kecerdasan dan kebijaksanaan politik. Hanya sedikit dari mereka, yang berada di antara kumpulan rakyat itu, yang memiliki kecerdasan politik dan kemampuan melihat kemungkinan-kemungkinan masa depan dari perpolitikan beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Sisanya tak lebih dari ternak. Budak skala besar yang dijaring oleh partai politik dengan kharisma palsu dari para tokoh yang sejarah perpolitikannya saling menikam, mengkhianati, dan jika mereka ditaruh dalam satu ruangan dan tempat yang sama. Mereka mirip seperti orang-orang yang ingin menghancurkan satu dan lainnya demi kekuasaan. Para oportunis yang hidup demi kekuasaan dengan caranya masing-masing.
Satu pasangan terdiri dari kemungkinan semi diktator yang digabungkan dengan kecerdasan licik tak tahu malu anak muda. Anak muda, yang usianya tak jauh berbeda dengan diriku. Yang terlihat biasa saja tapi secara politik sangat brutal dan begitu haus kekuasaan.
Generasiku, generasi milenial, adalah orang-orang yang jika masuk dalam politik, kemungkinan besar akan menjadi semacam itu.
Mereka bisa melaporkan siapa saja yang tak sejalan pandangan atau yang dianggap bertentangan. Sangat anti kritik. Bisa berlaku sesuka hati. Dan tingkat oportunismenya juga sangatlah tinggi.
Satunya lagi, orang yang bisa menjatuhkan siapa saja karena memiliki pendukung yang kuat dalam hal agama dan identitas. Jika berkuasa akan menjadi tak tersentuh. Orang yang sangat oportunis dan rela memanfaatkan apa dan siapa saja. Yang didukung oleh wakil yang sama oportunis dan terlalu muluk dalam mengkhayal mengenai dirinya sendiri. Pandai berbicara besar tapi lupa kenyataan yang ada di depan mata.
Mereka berdua gabungan yang sama buruknya seperti pasangan yang sudah aku jelaskan lebih dulu. Yang satu adalah calon diktator baru dalam dunia semi demokrasi. Satunya lagi, calon diktator baru yang memakai demokrasi demi menjalankan kekuasaan dengan banyak kebijakan buruk yang tak tersentuh oleh hukum.
Kedua pasangan itu, jika melakukan korupsi dan kesalahan-kesalahan kebijakan, nyaris tak akan ada yang mampu menyentuh mereka.
Pasangan yang terakhir adalah orang yang ragu-ragu, tak pernah tegas dan berani menolak yang lebih kuat dan berkuasa darinya. Yang mengalah pada tekanan yang lebih kuat saat rakyatnya sendiri menolak pembangunan-pembangunan yang tak diinginkan. Seorang yang hidup dalam status quo. Mencari aman. Untung saja, ada sosok yang lebih idealis menjadi wakilnya. Yang mungkin bisa sedikit bekerja. Tapi di depan kekuasaan dan politik kejam istana, ia juga tak akan mampu. Dan akhirnya ikut arus juga. Setidaknya ia masih bisa sedikit bekerja daripada wakil presiden terakhir yang entah hilang kemana selama ini.
Aku tak memilih ketiga pasangan itu. Biarkan mereka dipilih orang-orang yang mengagumi dan menyukai mereka. Hanya saja, anak-anak muda yang aku lihat saat ini, jika berkaitan dengan politik, ternyata jauh lebih buruk isi kepalanya daripada generasiku terdahulu yang sebenarnya sama buruknya. Walau tetap saja, ada beberapa orang di antara generasi baru, yang punya kepekaan politik yang cukup tinggi dan mampu melihat para tokoh politik dan kemungkinan-
kemungkinannnya. Hanya saja, jenis mereka terlalu sedikit.Mau seburuk apa pun para calon pemimpin bangsa itu bertindak. Akan selalu ada yang mengikuti mereka. Yang mengikuti mereka adalah rakyat.
Orang-orang bodoh yang berjalan ke kotak suara dengan isi kepala yang sudah tercuci dan mata mereka yang rabun. Kadang, aku kasihan dengan mereka. Mereka memilih para pemimpin buruk dengan kesadaran penuh tanpa tahu, kelak, mereka semua tengah mendorong suatu sistem semi diktator yang mungkin, akan menjadi bagian dari iklim politik para generasi milenial yang akhirnya berkuasa penuh dan para generasi Z, yang akan menjadi sejarah terburuk perpolitikan di Indonesia.
Di tangan generasi milenial dan Z, Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi yang besar, para konsumen yang agresif, dan orang-orang kaya baru yang sayangnya, mereka hidup dengan tanpa memiliki otak yang layak dalam hal-hal yang berkaitan dengan identitas diri dan kebijaksanaan.
Uang mudah dicari. Kekayaan mudah didapat. Menjadi kaya jauh lebih mudah dan bisa dilakukan siapa saja. Tapi menjadi terbuka secara intelektual, bertanggung jawab secara politik dan pilihan politik, dan sabar dalam menghadapi perbedaan. Siapa yang bisa melakukannya? Kecuali sedikit orang.
Siapa pun yang terpilih, akan ada titik kemajuan dalam hal-hal fisik dan kebijakan. Walau seburuk apa pun kelak mereka memerintah. Mungkin, bahaya paling mengerikan terletak dari kerumunan rakyat yang berpendidikan yang sayangnya telah lama kehilangan fungsi otaknya sehingga mengabaikan para pemimpin buruk yang ada di depan mata dan malah memilihnya.
Aku tak memilih siapa pun. Seumur hidupku. Karena saat aku hidup di masa ini dan yang akan datang. Bahkan jika kelak kematianku ada di depan mata. Indonesia, akan terjerat dengan politik yang buruk dan semakin buruk. Karena masyarakat sudah terlanjur diisi oleh orang-orang buruk, budaya yang buruk, dan para orang tua yang buruk. Sejarah pendiidikan dan politik mereka pun mengikuti masyarakat yang mereka tinggali.
Apa yang bisa aku percayai dari generasi milenial? Generasiku? Generasi yang berisi orang-orang licik, psikopat, orang-orang sakit, dan orang-orang yang buta mata jika menyangkut ideologi yang mereka percayai. Sebuah generasi yang akan bertingkah sangat buruk dalam perpolitikan hari ini dan di masa yang akan datang.
Lalu generasi Z? Para kumpulan orang mesum dengan agama dan keyakinan tak jelas itu? Orang-orang yang penyakitan sejak kecil dan remaja? Yang memiliki trauma terlalu banyak sedari dini dan hidup dalam lingkungan yang saling tak memercayai. Generasi yang hidup dalam budaya yang sangat buruk yang berisi caci maki, perundungan, dan perceraian. Yang menghasilkan banyak anak yang tak memiliki orang tua. Yang kelak mereka akan menjadi kaya dan makmur tapi hancur secara brutal di dalam.
Apa yang bisa diharapkan dari kedua generasi itu dalam politik masa depan?
Membuat negara yang makmur tapi membusuk di dalam? Membuat negara yang berisi para rakyat yang tak tahu lagi bagaimana hidup dan akhirnya menjadi sangat kejam dan begitu busuk saat menjalankan tugas negara dan kehidupan sehari-hari?
Mungkin, menjadi diam dalam politik adalah cara terbaik untuk tidak terlibat dengan kebodohan dan kekejian massal di depan mata. Aku sudah cukup melihat kebodohanku sendiri selama ini. Dan aku sudah malas melihat kebodohan orang-orang kaya yang berpendidikan tinggi. Juga, kebodohan orang-orang miskin sejak dahulu kala.
Saat menjadi kaya dan berpendidikan tinggi, tak lagi membuat seseorang menggunakan sedikit sisa otaknya saat ada dalam masa pemilihan umum. Saat menjadi miskin pun, tak membuat seseorang mau tahu dengan dunia yang ada di sekitar mereka.
Lebih baik diam. Menarik diri dengan dunia politik sampai aku mati. Jika kelak negara ini salah arah. Aku juga tak peduli. Tidakkah banyak sekali pemilih yang harusnya bisa mencegah para pemimpin buruk berkuasa? Tapi mengapa malah meraka mendukung para pemimpin buruk itu dengan cara yang begitu penuh kesadaran diri?
Ah entahlah. Lebih baik aku diam. Menyelamatkan diriku dari buruknya diriku sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...