BUMI DATAR: PERDEBATAN PALING MEMALUKAN DI INDONESIA

364 5 0
                                    


"Skeptisisme terhadap ilmu pengetahuan tengah merebak, dan polarisasi pun sudah jamak. Apa yang menyebabkan orang-orang cerdas meragukan nalar?," tulis Joel Achenbach dalam artikelnya, Membantah Sains. Aku membaca artikel ini di tahun 2015 lalu dalam majalah National Geographic Indonesia. Kemudian membacanya ulang di perpustakaan kota Malang. Ketika perdebatan mengenai bumi datar, bulat, lengkung, oval, telur, kotak-kotak, zig-zag, semakin mengemuka. Tanpa adanya polemik yang benar-benar layak, entah di dalam blog, jurnal, atau media koran di kalangan masyarakat Indonesia. Perdebatan menjadi seperti hal yang biasa aku lihat selama sepuluh tahun terakhir. Saling menjatuhkan dan memaki, itulah ilmu pengetahuan Indonesia. Lalu kabur setelah kalah atau marah-marah.

Membaca ulang tulisan Joel benar-benar membuatku agak tercengang setelah sekian lama aku tak peduli lagi dengan masalah-masalah astronomi, apakah pendaratan di bulan bualan atau tidak, kemungkinan kehidupan di luar angkasa, peradaban lain di sana, hingga alien, dan segala macam yang benar-benar bisa diperdebatkan dan tak akan pernah selesai. Di abad ke-21 ini, pada akhirnya manusia kembali jatuh pada perdebatan filsafat dan segala jenis epistemologinya, yang sejak kemunculan sains, filsafat seolah bagaikan diabaikan dan tak terlalu penting. Walau jejaknya masih tersisa dalam relativitas Einstein, Subyektifitas teori kuantum, hingga mengenai teori evolusi yang sayangnya diterima oleh banyak pihak, orang-orang terpelajar di Indonesia, di berbagai materi pelajaran mereka, di kelas, dan museum-museum tanpa sebuah kritik yang berarti.

Aku tercengang, ya tercengang. Karena para pembela bumi bulat atau oval dan mereka yang memercayai bumi datar, mengabaikan Darwinisme versi lama hingga Darwinisme Sintesis atau Neo-Darwinisme, yang menjadi tulang punggung sains hari ini. Tulang punggung nyaris semua ilmu, dari psikologi, kedokteran, biologi, antropologi, sejarah, sampai pada astronomi dengan astrobologinya. Dan tiba-tiba, sebelum pada tahapan yang paling krusial, orang-orang Indonesia kebanyakan berdebat dengan sengit, yang isinya lebih banyak makian dari pada saling bertukar tulisan, entah panjang atau pendek di berbagai media, website, dan blog. Lalu aku membandingkan, hasil penelitianku yang agak lama, mengenai jenis pembaca di Indonesia. Hingga kemampuan mereka membaca dan menulis dengan cukup baik. Orang beragama, ateis, nihilis, nasionalis, bahkan mungkin pemuja setan, nyaris mengidap hal yang sama jika di Indonesia. Kemampuan yang luar biasa untuk saling mengata-ngatai, memaki, mengkafirkan, menganggap gila, setan, babi, keparat, dan segala jenis makian lainnya tanpa membuat tulisan yang cukup panjang yang bisa direkam dan dilihat oleh banyak orang sehingga komentar dan pikiran-pikirannya bisa dinilai orang lain dan direnungkan. Aku pernah, bahkan meremehkan hampir banyak komentator-komentator penipu, yang bermuka banyak di berbagai situs sosial, semacam facebook, yang kelakukannya hanya tak terima dan tak terima tapi menulis agak panjang saja nyaris tak mampu. Membaca buku setebal seribu halaman saja sangat kewalahan. Selalu mengandalkan media pendek berupa website, koran online, dan beberapa informasi yang hanya seadanya. Atau akhir-akhir ini memanfaatkan berbagai video, foto, atau Youtube. Setelah itu, dengan mudahnya, dan sangat percaya dirinya menilai orang lain salah, sesat, ngawur. Dan begitu hebatnya, masih dengan memaki-maki. Itulah etika yang aku lihat di berbagai macam forum debat atau polemik singkat di dunia maya. Semua sama saja.

Dari semua orang yang memperdebatkan bumi bulat hingga bumi datar itu. Sedikit dari mereka ilmuwan dan peneliti. Itu adalah kenyataan. Mereka semua kebanyakan adalah konsumen. Tak pernah berurusan dengan berbagai jenis metode mendapatkan data, fakta, dan kesimpulan akan kebenaran yang berbeda. Mereka konsumen dengan mengandalkan sedikit ilmu pengetahuan yang tak mereka teliti sendiri. Tapi dengan bangga mereka koar-koarkan untuk mempertahankan argumen-argumen mereka yang lemah. Setelah kalah dan tak setuju, andalah mereka selalu memaki-maki pihak lainnya yang tak sependapat. Atau pada akhirnya, sekedar berkata, Tuhan, Tuhan, dan Tuhan. Semua urusan terselesaikan.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang