BERHENTI MENULIS: SEJENAK MEMANDANG BUDDHA

140 1 0
                                    

Menulis selain obat, juga penyakit. Bagiku sendiri, menulis, lama-kelamaan menjadi hal yang membuat pikiran dan tubuhku rusak. Sebagai pengidap bipolar dan gangguan intelektual, rasa-rasanya, aku harus beristirahat sejenak dari dunia pemikiran. Sedikit mencari ketenangan dan hirup-pikuk dunia yang benar-benar tak pernah selesai. Setelah aku pikir-pikir, menulis atau tidak, tak akan banyak mengubah dunia ini. Selain itu, menulis dengan kebebasan yang aku miliki, membuat aku dibenci banyak orang. Sudah waktunya untuk kembali ke diri sendiri. Menentramkan hati dan pikiranku.

Dan akhir-akhir ini aku sedang memandang Buddha. Bukan sebagai agama. Tapi sebagai pribadi. Ketika segala keinginan dan hasrat terkosongkan. Memang tak mudah melakukan semua itu. Di mana ego-ego harus disingkirkan. Kenginanku yang sangat besar, untuk membuat karya yang berbeda, unik, dan bertahan lama harus aku singkirkan. Ya, seandainya aku memandang dan memasuki altar dunia Buddha, aku harus mengekang segala bentuk hasratku. Tapi, hidup itu sendiri adalah hasrat.

Jalan panjang air atau hutan-hutan. Memandang ke arah langit. Memantul di antara lautan. Mendengar suara kicauan burung. Berhenti dari pekerjaan-pekerjaan manusiawi. Dan mendengar kembali kekosongan angin. Sudah waktunya mengubah aliran dan embusan udara. Medongak takjub pada hal-hal yang kecil. Bercakap-cakap dengan para semut. Dan tidur di antara kesederhanaan.

Berhenti menulis. Melepas ego. Kembali pada yang paling kosong dan tak bernampak.

Mungkin, di antara jeda. Aku akan sedikit melihat bentuk tanganku. Tak terburu-buru melangkahkan jiwa. Lalu, mencapai apa yang disebut sebagai sebutir dari kebijaksanaan. Ya, sebutir kebijaksanaan yang sedikit orang mampu meraihnya. Apakah, kebijaksanaan juga adalah hasrat?

Setidaknya, aku hanya ingin sedikit tenang. Walau hanya beberapa waktu saja.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang