MEMBAKAR MARYAM karya OKKY MADASARI

124 1 0
                                    

Pagi yang begitu dipenuhi suara-suara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Pagi yang begitu dipenuhi suara-suara. Dan kicauan burung-burung di sekitarku mengingatkanku akan buku yang tengah aku baca, A Sky Full of Birds karya Matt Merritt.

Dua hari ini tubuhku begitu sangat lemas dan tak bersemangat. Aku juga mengabaikan tulisan yang terbengkalai, dan memutuskan untuk membaca dan membaca. Walau pada dasarnya, membaca sudah tak banyak mengubah apa pun. Begitu juga menulis.

Aku tenggelam dalam buku menarik dari Menno Schilthuizen, Darwin Comes to Town, mengenai berbagai kehidupan liar yang beradaptasi di lingkungan perkotaan. Lalu, saat kebosanan melanda, aku berpindah ke buku-buku lainnya, The Hidden Landscape milik Richard Fortey sampai Common Ground dari Rob Cowen.

Terdapat banyak buku bagus di dunia ini. Berjumlah ribuan. Saat aku semakin tahu bahwa aku bisa menikmati buku E.O Wilson, David Attenborough, Arne Naess, Edward Abbey sampai John Muir. Untuk alasan apa lagi aku masih membaca buku Satra Indonesia modern? Aku masih sedikit menyisakan buku-buku esai dan sastra lama. Tapi Sastra Indonesia baru, abad-21? Nyaris tak ada yang menarik dan hampir semuanya ditulis dengan membosankan.

Saat ada buku bagus seperti The Sixth Extinction karya Elizabeth Kolbert sampai The Rise and Fall of the Dinosaurs milik Steve Brusatte. Untuk apa aku membaca lagi Sastra Indonesia yang nyaris tak berkembang?

Dan pagi hari ini, aku mengambil sebuah buku berwarna biru dengan gambar seorang perempuan berambut panjang yang tengah memegangi sebuah rumah berukuran mini di tangannya. Pemenang Khatulistiwa Literary Award 2012, sebuah novel karya Okky Madasari berjudul Maryam.

Sama halnya dengan O milik Eka Kurniawan. Aku juga banyak sekali mencorat-coret buku Okky Madasari. Menggarisbawahi apa yang aku anggap buruk dan menarik dalam lingkup sosial atau yang benar-benar sangat menggelikan dalam gaya kepenulisan.

Aku merobek tiga halaman novel Maryam tepat di tengah-tengah. Mengambil korek api. Bersiap-siap menyulutnya.

Pagi yang masih terasa dingin, sebuah pohon pepaya di depan mataku, dan suara bising dari berbagai macam arah. Langit berwarna kekuningan, yang mana sinar matahari mulai merayap di ufuk timur. Membangunkan manusia dan segala yang tertidur di kedalaman tanah.

Aku meletakkan novel Maryam di tanah berpasir bersama tiga robek halamannya yang tepat berada di sebelahnya. Menghidupan korek api di tanganku lalu menyulutnya tanpa harus menyesali atau pun merasa bersedih.

Aku mengamati api yang membakar kertas tipis berwarna kekuningan dengan begitu cepatnya. Api selalu saja membuat buku-buku jauh lebih indah dari pada saat masih dalam bentuk utuhnya.

Buku yang terbakar dan api merah yang menjalarinya selalu saja membuatku terpesona.

Aku memiliki pandangan filosofis yang cukup kuat mengenai mengapa aku membakar buku. Seseorang bisa berdebat panjang mengenai buku-buku yang terbakar dan untuk alasan apa seseorang mencoba mempertahankannya tanpa kedalaman sama sekali. Selama ini, berbagai alasan penolakan pembakaran buku ternyata begitu dangkal dan menggelikan. Sedikit orang yang memiliki pandangan kuat saat menentangku membakar buku-buku yang aku miliki. Mungkin para penentang pembakaran buku itu memang jarang berpikir lama dan tak terbiasa membaca banyak buku yang bervariasi. Mungkin.

Maryam bagiku tak lebih dari dokumen buruk reportase. Sebuah catatan sejarah akan sebentuk penindasan terhadap kaum minoritas yang harusnya lebih baik ditulis dalam bentuk dan gaya jurnalisme sastra, seperti banyak para peraih Pulitzer Prize lakukan dengan cara yang mengagumkan.

Jika kita beralasan mengagumi sisi pembelaan sosialnya terhadap warga Ahmadiyah yang diusir, yang beberapa waktu juga bernasib sama, sehingga sedikit mengingatkanku dengan Maryam. Maka, novel Okky itu tak begitu menarik untuk kembali dibuka dan dinikmati. Aku hanya butuh kuota internet, membuka Google lalu mengetik kata "pengusiran Ahmadiyah Lombok'. Maka aku akan mendapatkan kisah, data, dan detail yang jauh lebih menarik dan tak terlalu memerlukan ratusan halaman untuk menuliskannya.

Novel Maryam mendekati 300 halaman, dengan gaya kaku yang membosankan, detail alam dan lingkungan yang kering yang membuat suasana Lombok seolah tak terlihat sama sekali. Novel itu juga membahas masalah perihal keagamaan, keluarga, psikologi anak-anak, pendidikan, percintaan beda iman, dan pergulatan eksistensial dan perbedaan pendapat keagamaan, politik, stabilitas negara yang dipaksakan, konflik sosial, dan masyarakat yang sama-sama enggan berubah dan mudah tersulut amarah.

Dalam artian kasarnya, Okky ingin menulis dan membicaraksa banyak hal mengenai akibat dari konflik dan pengusiran warga Ahmadiyah Lombok. Tapi apa daya, Okky Madasari ternyata tak memiliki kemampuan yang baik untuk menuliskannya dalam bentuk sastra yang renyah, sarat informasi, dan tentunya indah.

Dalam halaman 'Terima Kasih', aku dapat melihat sesuatu yang menggelisahkan dari karya Maryam. "Terima kasih dalam wujud apa pun tak akan sebanding dengan semua yang dilakukan suami saya, Abdul Khalik. Untuk penulisan novel ini, ia yang memungkinkan saya melakukan riset di Pulau Lombok. Bersamanya melakukan perjalanan dari utara ke selatan, menyusuri pantai-pantai, hingga mendaki puncak tertinggi."

Riset macam apa yang dilakukan Okky, dari utara ke selatan, menyusuri pantai-pantai hingga mendaki sebuah gunung? Karena saat aku membaca Maryam, Lombok nyaris bukan lagi Lombok. Berbagai jenis pepohonan, alam liar, lanskap, binatang liar atau perkotaan, sampai lanskap laut dan apa yang ada di gunung, menghilang secara mengerikan di dalam novelnya. Nyaris tak terlihat alam khas Lombok yang ada di dalam novel itu. Alam tampak begitu kering, dangkal, membosankan, dan hanya sedikit ditulis. Dan saat aku coba mengalihkan pembacaanku ke arah permasalahan sosial, terlebih sosial dan agama, yang terjadi adalah segala sesuatunya berubah menjadi sangat dangkal. Entah mengapa, belum selesai membacanya saja aku sudah bergumam, "karya sastra yang tak hanya ditulis dengan buruk tapi begitu dangkalnya."

Saat selesai membacanya tuntas, aku merasa kasihan dengan publik pembaca Indonesia yang mungkin tak terbiasa membaca dan menikmati buku. Dan anehnya, Maryam memenangkan Khatulistiwa dan aku berpikir, juri macam apa yang memenangkannya?

Kadang aku berpikir, kenapa para penulis yang hidupnya sudah kaya dan berkecukupan, yang seharusnya dengan uang dan akses yang dimiliki bisa membuatnya membeli buku apa pun untuk refrensi. Pergi ke mana pun untuk melakukan penelitian lapangan. Bisa dengan mudahnya bertemu dengan para akademisi dan para ahli karena mereka sudah dikenal, memiliki nama, dan terkadang malah dekat. Tapi, dengan segala kelebihan yang dimiliki toh masih saja menulis dengan buruk layaknya penulis miskin yang baru saja pertama kali membeli sebuah buku setelah menahan tak makan selama dua-tiga bulan. Saat lihat kenyataan semacam itu, aku harus bilang apa?

Penulis kaya dengan akses tinggi jika masih saja menulis dengan buruk, kaku, tak informatif dan dalam, serta sedikit hal baru yang bisa didapat darinya. Mungkin aku bisa mengatakannya sebagai penulis yang tak becus menulis. Atau tak berbakat. Atau bodoh. Atau tak imajinatif. Dan anehnya, khalayak ramai menyukainya. Karena khayalak ramai otaknya juga baru setara dengan buku yang dibacanya.

Lalu bagaimana dengan Maryam? Sebuah karya yang jauh lebih buruk dari O. Mungkin itulah alasanku membakarnya di pagi ini. Tanpa penyesalan dan malah merasa terbebas dari mitos kesusastraan Indonesia yang menyedihkan.

Aku mengamati kertas yang kini menjadi debu, yang sebagiannya lagi menggulung berwarna abu-abu kehitaman, dan sisa dari halaman yang tak termakan oleh api sepenuhnya. Aku mengambilnya, dan juga abu dari kertas itu dan memasukkannya ke sela-sela halaman buku Maryam. Kelak, mungkin aku akan membakarnya lagi. Tapi entah kapan.

Aku mengamati langit yang mulai terang dan burung-burung yang berkicau dari segala arah. Aku berdiri dari posisi dudukku. Melangkahkan kaki perlahan. Lalu tak lama kemudian, memulai membaca Leviathan karya Philip Hoare -yang terpengaruh dengan Moby Dick- penulis dari The Sea Inside.

Entah mengapa, aku tak lagi merasa membutuhkan Sastra Indonesia.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang