Di negara ini, menjadi anak kecil terasa menakutkan.
Bagaimana tidak menakutkan?Yah, seandainya hari ini kau adalah orang tua, biaya mendidik anak dari paud sampai taman kanak-kanak saja setara bahkan terkadang lebih mahal dari pada seseorang yang berada di peguruan tinggi. Dan cobalah masuk ke toko buku, terutama Gramedia. Bandingkanlah harga buku bacaan berat, yang mungkin dibuat dengan riset yang tinggi, sangat tebal, penuh dengan wawasan dengan proses penciptaan yang sangat lama, rumit, dan kadang menegangkan, antara hidup mati. Harganya jauh lebih murah dari pada buku anak-anak yang sangat tipis keluaran BIP, National Geographic Kids, dan lainnya. Buku tipis yang kadang tak ada seratus halaman itu, harganya bisa mencapai antara 50-100-an ribu rupiah. Bahkan, anak-anak sekolah dasar pun, sudah disibukkan dengan les, les, dan segala hal yang selalu mengeluarkan uang.
Di sekolah-sekolah cukup elite atau elite, mengeluarkan banyak uang untuk kegiatan sekolah atau pekerjaan rumah tangga semacam hal yang biasa. Arah pendidikan yang semakin mahal dan menekan sejak kecil, seolah-olah kian menjadi tren. Dan itu jelas, terasa bagaikan horror bagi kejiwaan generasi masa depan negara ini. Lalu, uang jajan yang sangat berlebih, bahkan melebihi orang-orang kuliahan, membuat anak-anak semakin manja. Dan kemanjaan itu akhirnya berubah menjadi tradisi para orang tua demi melindungi anak secara berlebihan sampai pada membawa sikap gengsi yang dimiliki orang tua ke sudut-sudut terkecil anak-anak mereka. Orang tua mengajari anak-anak mereka menjadi sangat manja dan sejak belia sudah diajari hierarki sosial atau status diri lewat harga dan kualitas benda-benda. Anak-anak dijejali barang-barang mahal untuk dipamerkan dan dibandingkan ke teman-teman sebaya mereka. Disitulah timbul perasaan malu dan tak adekuat, tak rela, rentan, jika anak lainnya lebih hebat dalam harta benda dll. Kecemburuan sosial sejak dini, yang diawali dari tradisi orang tua yang sangat keterlaluan. Membuat anak-anak mengembangkan sikap saling menilai satu dan lainnya. Dari tampilan fisik sampai isi otak. Sejak kecil, pada akhirnya yang ada adalah persaingan, kompetisi, yang bercampur dengan perasaan sinis dan cemburu. Dan banyak orang tua sekarang ini semakin gila dan aneh, dengan mengantar atau menjemput anak-anaknya dengan mobil. Selalu mobil. Mengajaknya ke mal, mengonsumsi dan terus mengonsumsi sejak masih belum tahu apa itu huruf dan angka. Sikap ini, yang saling bercampur, membuat generasi masa depan mudah mengalami stress, depresi dan perasaan tak berarti sejak usia yang dini. Sekolah dasar dan menengah atas, sudah semakin diisi oleh anak-anak yang tertekan dan jiwanya hancur serta kosong.
Biaya psikologis atau kejiwaan anak-anak nyaris tak pernah dihitung. Para orang tua, guru dan sistem pendidikan kita, tak merasa berkepentingan untuk menghitung atau sekedar memberi perhatian. Tekanan demi tekanan diberikan kepada anak. Kamu harus bisa berbahasa asing. Kamu harus peringkat pertama atau sepuluh besar. Kamu harus lebih hebat dari tetangga sebelah yang menjengkelkan. Kamu harus kuat dengan sekolah ini bagaimanapun caranya. Walau nyata-nyatanya sekolah itu sangatlah kejam dan amburadul hanya menang sebagai sisa dari sekolah elite dan pernah bagus tanpa peduli kondisi dan kenyataan yang ada di dalamnya. Para orang tua memfasilitasi anaknya dengan segala kemewahan yang bisa dilakukannya; mobil, uang jajan, kos yang mahal, peralatan sekolah yang harganya kadang mencengangkan, dan biaya-biaya lainnya yang tak terhitung banyaknya. Ego orang tua masuk ke dalam diri anak dan menjadi milik anak itu sendiri. Hingga akhirnya membentuk kepribadian anak yang konsumtif dan mudah depresi, putus asa, jika keinginannya tak terpenuhi serta gagal memandang diri sendiri secara lebih tepat.
Anak-anak kecil adalah pikiran, emosi, dan tubuh yang sangat tepat untuk diajari perasaan tanggung jawab, moral, tidak berlebihan, dan kemanusiaan serta berlapang dada. Ajaran semacam itu akan mendorong anak kelak akan lebih mandiri, berjiwa lebih kuat, dan cukup tahu dalam memanfaatkan apa yang dimiliki dan membuang atau mengabaikan hal yang tak penting. Dia akan lebih senang dengan bolpoin yang lebih murah tapi kualitasnya bagus. Dia akan pandai bergaul di antara teman sebayanya. Dia akan lebih senang berjalan kaki atau naik sepeda dengan teman-temannya dari pada dijemput dengan mobil karena itu lebih menyenangkan. Si anak akan merasa cukup dengan uang jajan ribuan rupiah dari pada lima puluh ribu hingga ratusan ribu. Karena bagi si anak, itu sudah lebih dari cukup. Dia tak merasa tertekan dengan anak lainnya yang lebih konsumtif dengan uang jajan lebih sangat besar dari dirinya. Dia tak terlalu ingin dengan ini dan itu. Baginya, hanya segitu sudah cukup. Sewaktu-waktu kalau dia ingin, dia bisa menikmatinya. Dia akan memusatkan apa-apa yang lebih penting baginya daripada hanya sekedar menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tak perlu. Anak yang kita anggap naif dan lugu, sejatinya sudah memiliki sistem berpikir yang sangat rumit dan bijak. Tapi gara-gara banyak orang tua tak mengembangkan, mengajari, dan menumbuhkan sikap itu dan memilih mengajari anak-anaknya untuk konsumtif. Maka, terjadilah hari ini banyak anak kecil yang keranjingan dengan benda-benda mahal dan makanan-makan mewah. Para orang tua mengikis habis sikap bijak dalam diri anak sejak kecil. Dan itulah yang membuat biaya anak kecil semakin membengkak luar biasa bahkan lebih sangat mahal dari pada mereka yang berada di usia dewasa muda dan dewasa. Dan anak tumbuh menjadi lebih manja: tak berangkat sekolah kalau tak diberi uang jajan seperti biasanya atau lebih. Tak akan berangkat sekolah atau ngambek jika tak di antar dengan mobil. Akan marah jika tak dituruti membeli mainan dan sebagainya. Akan melemparkan benda apapun secara brutal jika ingin sesuatu secepatnya dan tak segera dituruti. Dan para orang tua yang gagallah, yang kelak akan menjerumuskan anak-anak mereka di masa depan untuk lebih mengejar uang dari pada kemanusiaan. Untuk menghalalkan segala macam cara demi kekayaan. Untuk mempertahankan status kehormatan, gengsi, dan kemewahan walau itu harus menjual dirinya sendiri. Dan membuat anak-anak muda pada akhirnya berantakan, hampa, rusak, dan sakit. Kejiwaan yang labil, rentan dan mudah ke arah gangguan jiwa. Itulah, dan sekarang ini, telah menjadi tren besar di negara ini.
Dengan sikap orang dewasa yang semacam itu dan anak-anak mereka yang diajari hal yang sama, apa yang akan terjadi dengan negara ini?
Aku seringkali merasa ngeri, jika membayangkan seandainya aku saat ini tiba-tiba menjadi anak kecil kembali. Aku akan di penjara oleh lingkungan keluarga yang menekan habis diriku. Aku akan diajar oleh guru-guru yang gagal dengan dirinya sendiri dan merasa tak terlalu berkepentingan dengan diriku, mengajar sesuka hati mereka. Aku akan dirundung les, les, remidi, ekstrakulikuler yang sangat banyak dan mungkin tak aku sukai. Aku tak akan mampu lagi bersenang-senang dengan hujan, sepeda, menjelajah tempat, atau melakukan kegilaan anak kecil di masaku. Karena aku akan disekap di rumah oleh pekerjaan rumah dan tentunya keluarga yang keterlaluan ketakutan jika aku sedikit saja keluar rumah. Aku akan dirantai di mobil, motor dan lainnya tanpa diperbolehkan hidup bersenang-senang dan bercampur dengan anak lainnya seusiaku. Dalam artian banyak, aku tak dibolehkan menjadi anak kecil dengan imajinasi liar dan mengagumkannya. Aku dilarang menjadi anak kecil yang keranjingan berpetualangan dan bersenang-senang dengan dunianya. Aku akan menjadi anak kecil yang di penjara sebelum aku tahu apa itu kesenangan menjadi bebas sebagai anak kecil. Aku akan dirantai dengan gengsi orang tua. Aku akan ditelan oleh ego dan segala nilai buruk orang tua modern miliki. Aku akan menjadi sekedar zombie dan calon-calon mumi yang hampa.
Hari ini, banyak anak-anak sekolah menengah atas, biaya hidupnya luar biasa mahal: handphone apple seharga 14-15 juta rupiah. Uang kos 2-3 juta perbulan. Biaya les kimia, fisika, matematika, inggris dan lainnya yang sekali pertemuan bisa mencapai ratusan ribu rupiah. Masih belum uang jajan, uang bulanan, biaya sekolah, acara-acara teman sekolah, biaya perayaan ulang tahun yang berlebih dan luar biasa mahal, yang mana itu semua, semakin menjadikan generasi baru bangsa indonesia, dengan segala kemewahan, kestabilan negara, ekonomi yang menanjak, dan kenyamanan yang dimiliki, tak membuat negara ini memiliki orang-orang hebat baru dalam ilmu pengetahuan, inovasi yang menonjol, paten yang masih minim, riset yang tak seberapa, dan masyarakat yang terus menjadi konsumen dan konsumen yang gila dan berjiwa rentan serta berpikiran sempit.
Para orang tua mengajari anak-anak mereka untuk menjadi pencuri dan bajingan sejak belia dan dini. Dan berbagai macam pengusaha, pedagang, memanfaatkan kerentanan anak kecil dan orang tuanya dengan cara memproduksi barang-barang anak kecil yang serba mahal. Dan lingkaran pun terjadi. Dan, bisa kita lihat hari ini dengan mata kepala yang sungguh-sungguh. Sebuah negara, yang rusak dan hancur semacam ini.
Ah, betapa mahalnya menjadi anak kecil hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Rastgeleaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...