Tak ada yang lebih meresahkan, melihat sebuah negara bangsa yang diisi oleh orang-orang buruk tapi berpikir, selalu merasa berpikir, bahwa dirinya adalah orang baik. Aku hidup di mana, orang-orang akan marah dan terluka jika topeng-topengnya aku robek dan buka. Mereka tak lebih jahat dan buruk dari pada diriku. Tapi mereka tak mengakui. Dan itulah, yang membuat negara ini rusak dan nyaris hancur berantakan.Kitalah, beserta orang tua kita, dan mereka yang sudah mati bertanggung jawab terhadap tanah air yang diliputi bencana alam. Sesak. Macet. Tempat tinggal yang buruk. Para politikus dan pejabat negara yang berengsek. Kitalah, dengan sikap abai kita, ketidakpedulian kita, keinginan kita dalam mendahulukan segala bentuk kesenangan kita, dan cara pandangan kita terhadap dunia telah membantu proses kematian saudara, orang tua, teman, dan masyarakat kita sendiri. Masa depan kita, dan orang-orang yang belum dilahirkan, bergantung bagaimana kita hidup dan menyelesaikan masalah-masalah yang kita timbulkan.
Tanggung jawab itu berat dan menyakitkan. Semua orang memilih lari. Cuci tangan. Marah jika dituntut dan dituntut memperbaiki sikap mereka dan membantu menangani masalah yang mereka timbulkan sendiri. Banyak orang menolak bahwa mereka bertanggung jawab terhadap dunia yang hari ini dan esok kita tinggali.
Aku sangat senang jika ditembak hari ini, atau digantung di depan umum. Tapi aku akan lebih dulu menulis segala jenis kebobrokan generasiku yang nyaris sinting dan lebih gila daripada orang gila dan sakit-sakitan macam aku. Jelas-jelas aku sangat bersalah. Tidak mampu. Terlalu egois dalam hidup dan juga sangat berengsek melebihi siapapun. Aku akan sangat senang hati, jika si berengsek ini, mati lebih dulu. Tapi, karena aku sudah sangat jahat, tidakkah aku boleh menunda sedikit kematianku untuk suatu alasan menulis segala kepura-puraan yang menjangkiti zamanku hidup saat ini?
Ada beberapa orang yang mengaku dirinya baik. Menghinaku dengan segala daya upaya: bangsat, berengsek, hina dan lainnya. Setelah aku suruh mereka melakukan apa yang mereka percayai soal kemanusiaan, semisal membantu korban banjir di Garut dengan segala upaya, mereka, aku sangat yakin, tak sanggup. Seandainya mereka menyanggupi pun karena lebih dulu harga dirinya merasa dijatuhkan. Tapi, apakah mereka memiliki harga diri? Ah, di depanku, orang-orang ini jelas lebih busuk dari pada diriku. Dan kebanyakan orang-orang semacam inilah yang hidup di negara ini. Jumlahnya tak terkira. Berlomba-lomba mementingkan diri sendiri dari pada, eh, keadilan, kebijaksanaan, kemanusiaan, dan seterusnya? Dan anehnya, mereka terluka. Sangat terluka. Aku sangat kasihan dengan orang-orang yang keluarganya menjadi korban bencana banjir itu. Harusnya dia sadar diri bahwa dia memiliki teman-teman yang pembohong dan penipu. Lebih mementingkan diri sendiri, uangnya, kenyamanannya, barang-barangnya, dari pada apa yang coba mereka bela. Dan aku mencoba jujur. Aku lebih menyukai kematian. Itulah kenyataannya. Apakah aku salah, jika aku juga salah seorang pembunuh yang merusak negara ini? Menimbulkan banyak kematian. Dan, mengapa, orang-orang ini, jumlahnya banyak dengan yang lainnya, tak merasa bersalah sama sekali?
Kita semua yang membuat bencana alam semakin liar. Bencana manusia semakin mengerikan. Semua itu ulah kita. Kitalah yang membuat dan mendorong atau melanggengkan itu semua. Kenapa begitu susahnya sedikit saja untuk jujur akan hal ini? Dan itulah yang membuat kita menjadi pembunuh. Masing-masing dari kita.
Dan sialnya, mereka semua tak mau disalahkan! Itulah keburukan manusia-manusia yang hidup di negara ini. Mereka lebih buruk dan berengsek dari siapa pun yang pernah hidup di dunin! Dan tak salah jika Franz Magnis Suseno muak dengan masyarakat negara ini. Begitu juga Radhar Panca Dahana.
Siapa yang tak muak dengan orang bermasalah yang tak mengakui kalau dia biang keladi dari banyaknya masalah yang ada?
Banjir di Jakarta. Siapa yang membuat banjir itu? Alam? Apa kepentingan alam terhadap manusia? Banjir di Solo, siapa yang hari ini tinggal di Surakarta dan berkepentingan akan kota tersebut? Dan kini, Garut. Garut tenggelam. Sekian orang belum ditemukan dan tewas. Siapa yang salah? Pemerintah, pejabat busuk, kapitalis bangsat, atau diri kita yang juga ikut cuek, abai dan berlagak sombong terhadap dunia? Sebagian dari kitalah yang hidup di sana, menumpang di alam yang dulu liar, dan ketika alam sedang menstabilkan diri atau sesuai dengan kodratnya, kita terluka dan marah! Kenapa tidak jauh-jauh hari kita menegur pemerintah, membantu pemulihan pohon, atau melakukan daya upaya yang selaras dengan alam? Kenapa kita menangis, marah, tak terima, saat bencana datang kepada kita? Tidakkah kita yang juga membuat bencana itu dan membunuh orang-orang yang kita kenal? Kenapa kita tak mau menerima tanggung jawab ini?
Jika masyarakat ini mirip para bajingan pura-pura di Komunitas Pecandu Buku dan turunannya. Jelaslah, negara ini akan kacau. Ada orang yang berkata aku mencintai kemanusiaan. Hanya sekedar berkata. Dan itulah orang Indonesia. Sekedar berkata dikira sudah cukup lalu selesai segala urusan dan tanggung jawab. Dan lihatlah, dunia yang kacau di depan mata kita karena semua orang dengan mudahnya melepas tanggung jawab mereka sebagai orang-orang yang membuat masalah.
Apa gunanya humanis yang bisu? Apa pentingnya nihilis yang diam berkarat karena ketakutan dinilai buruk? Apakah kita sudah terima memiliki sekian banyak pembohong buruk yang mengaku mencintai tuhan, agama, keadilan, hukum, cinta kasih, dan perdamaian? Di dunia macam ini, jika aku melihatnya, aku nyaris tak yakin orang-orang itu ada kecuali segelintir. Yang lainnya membisu. Terus membisu. Sambil mengaku dirinya orang baik. Padahal mereka adalah orang-orang egois sama seperti diriku. Yang lebih khawatir terhadap diri sendiri lebih dari apa pun.
Tidaklah lebih baik mengakui, aku sedang mencoba, tapi aku gagal? Karena masalah kesehatan. Masalah kejiwaan. Masalah keuangan dan lainnya? Tapi yang jelas, itu berarti kita gagal. Mau beralibi dan berceloteh macam apa pun, nyata-nyatanya kita gagal. Ya, gagal. Apa susahnya mengakui kita gagal? Oh ya, kita hidup di negara yang manusianya terserang sindrom menjadi orang-orang baik. Mempertahankan citra semacam itu. Dan tak mau mengakui bahwa dirinya gagal.
Itulah kenapa hampir selama ini sejak kemerdekaan. Dunia kita tak berubah dari seputar bencana alam, korupsi, suap, masalah lingkungan dan semacamnya. Kian hari, terasa kian parah. Dan apakah kita masih bisa membanggakan diri kita sendiri? Membanggakan diri di depan anak cucu kita saat nanti? Tidakkah itu kebanggaan terkejam yang harusnya tak bisa diampuni oleh generasi yang akan datang?
Kita mewariskan tanah yang rusak. Bumi yang hancur. Udara yang panas. Sungai yang cemar. Segala jenis hewan dan serangga yang musnah. Dan kita, merasa bangga menjadi manusiawi. Ya, sangat bangga. Kegilaan macam apakah ini? Masyarakat macam apakah yang hari ini aku tinggali?
Dan, ah ada seorang yang sangat marah dengan idealisme, utopisme, dan semacamnya. Tidakkah demokrasi, berbagai macam agama, kebaikan universal, perdamaian dunia dan lainnya, adalah utopia dan orang-orang berjuang mati-matian ke arah sana dan hasilnya kita nikmati walau bersifat sementara? Dan dia sangat marah jika aku terlalu utopis menuntut orang-orang bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan terhadap dunia ini! Lingkungan sekitar mereka lebih dulu.
Jika mereka tak mau hal semacam itu, kenapa marah terhadap kematian akibat banjir dan lainnya?
Sejujurnya, masyarakat ini yang keterlaluan buta dan tak warasnya. Atau diriku ini yang terlanjur tak waras? Dan aku hidup, di sebuah negara, yang masyarakatnya sangat membanggakan kekacauan dalam berpikir. Dan kekayaan yang besar tak menjamin seseorang dewasa, bijak, kreatif dan jujur.
Karena itu, seperti inilah negara yang aku tinggali. Republik orang-orang egois.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...