SAAT PARA PENULIS SALING MEMBENCI

159 4 6
                                    

Membenci orang lain itu mudah. Sangat terlampau mudah. Bahkan tanpa perlu bertemu atau berbincang. Hanya dalam pertemuan satu kali, sudah cukup membuat seseorang saling menjauh dan merasa tak nyaman. Itu hal umum di dunia manusia. Para penulis juga melakukannya.

Masalahnya, jika para penulis dan calon intelektual dengan begitu mudahnya saling membenci, lalu untuk apa semua omong kosong tentang kebenaran, keadilan, hidup toleran, dan empati? Kecuali hanya kepura-puraan bersama di saat ekonomi dan politik negara masih stabil.

Toleransi semu yang ditopang ekonomi yang stabil akan menjadi egoisme brutal saat stabilitas ekonomi sebuah negara hancur. Yang memicu kerusuhan politik, ras, dan banyak hal lainnya.

Itulah sebabnya, aku mungkin salah satu orang yang paling pesimis dengan utopia-utopia umat manusia. Dengan mimpi persatuannya. Dengan bagaimana mereka berkumpul. Yang terjadi adalah kedekatan bersama yang terbatas. Yang rapuh dan mudah retak kapan pun itu.

Saat para penulis sendiri, yang terkadang lebih dekat kenyataan sejarah sehari-hari tidak bisa bersatu. Maka, menyatukan umat manusia hanya terjadi dalam hukum. Sialnya, hukum yang dijalankan negara berarti mayoritas besar manusia tak nyaman dengan hukum tapi harus tunduk demi sedikit kenyamanan pribadi. Hukum memaksa manusia untuk bertoleransi, berkemanusiaan, menjadi baik di mata masyarakat dan negara. Pemaksaan yang bukan berasal dari dalam diri sendiri.

Sebuah etika ketertundukan sementara agar terhindar dari hukum yang tak menyenangkan. Salah satu alasan orang bertoleransi karena hal itu. Bukan dari hati nurani dan emosi akan empati bersama.

Sekali saja hukum hancur, dan tak lagi bisa menopang kestabilan masyarakat. Para penulis pun bisa begitu mudahnya saling bertikai dan bunuh membunuh. Terlebih, di mana para penulis adalah manusia-manusia muda yang sangat tak bijak dan mudah marah. Perbedaan sedikit pendapat saja, sudah membuat mereka ingin memukul dan menghancurkan seseorang yang membuat tak nyaman.

Dalam polemik. Saling kritik yang keras. Perbedaan pendapat yang terlampau besar mengenai isu dan banyak topik. Ketidakcocokkan dalam berpikir dan mengambil kesimpulan. Atau pertemuan di dalam forum, ruang diskusi, seminar, dan komunitas bersama. Banyak orang bisa saling tak nyaman dengan masing-masing anggota dan orang yang ada dalam komunitas itu.

Perbedaan gaya hidup, cara berpakaian, cara berbicara, bersikap, dan berpikir, sudah cukup membuat sesama penulis saling menjauh dan malas untuk berdekatan secara dalam. Psikologi keseharian yang dilakukan per-individu begitu rentan terhadap emosi sakit hati dan ketidaknyamanan. Dan ketidaknyananan sedikit saja dari seseorang, walau itu sesama penulis di tempat yang sama, sudah bisa membuat jarak yang terlampau besar.
Logika dan kebijaksanaan hidup, tersingkir dengan mudah oleh berbagai jenis emosi dari sebuah generasi yang dangkal. Generasi muda yang pengalaman hidupnya masih tak terlalu lama dan kacau oleh ketidakjelasan nilai agama, keluarga, masyarakat, negara dan lainnya. Para anak muda yang sakit, gelisah, dan mudah tersinggung serta meledak saat sedikit disudutkan.

Baik mereka penulis, intelektual muda, sampai orang biasa yang tak berpendidikan. Menjadi manusia penyabar dan terbuka serta luwes itu sangat susah. Sedikit yang bisa melakukannya.

Selama ini orang-orang masih berkumpul karena alasan psikologis. Sebuah negara dibangun bersama salah satunya demi alasan psikologis, yaitu kedamaian dan ketenangan. Para penulis berkumpul di satu tempat seringkali bukan karena ingin bertemu dengan banyak orang yang ada di dalamnya. Tapi untuk sedikit melemaskan diri, menikmati tema yang disuguhkan, atau sekedar psikoterapi. Karena menulis dan membaca juga adalah terapi. Maka mencari tempat yang sedikit cocok berarti bagian dari terapi itu sendiri.

Bahkan banyak yang sudah masuk dalam komunitas pun masih tak percaya dengan yang lainnya. Enggan menampakkan diri. Enggan bersuara. Atau bahkan enggan menjalin hubungan. Komunitas hanya sekedar alat untuk diri sendiri agar sedikit terbebas dari tekanan hidup. Tapi bukan ruang untuk berbagi dan saling mendekatkan diri.

Melihat dari kacamata psikologi klinis dan sosial, terlebih jika seseorang sangat menyukai mengamati hubungan antar individu dan kelompok. Kerentanan dan keretakkan emosi sangat mudah terjadi di mana-mana. Para penulis, yang otaknya lebih mudah bergemuruh, lebih mudah tersapu dalam keterpecahan dan saling menolak antara satu dan lainnya.

Perbedaan cara berpikir saja, sudah cukup membuat seseorang waspada. Itulah sebabnya, sebuah utopia besar terasa tak mungkin muncul dari dalam diri sendiri yang jujur, sabar, penuh rasa empati, dan kasih sayang. Kecuali hanya segelintir orang yang bisa melakukan di tengah miliaran manusia yang hidup.

Sebuah utopia yang dibangun melalui hukum, negara, agama, dan berbagai macam ideologi yang memaksa dan menghukum. Itulah yang selama ini kita ambil, yang membentuk toleransi semu yang dangkal asalkan tidak saling mengganggu dan melukai.

Kedekatan yang dalam antar individu manusia sangatlah susah didapat. Banyak orang sekedar bertemu dan bersepakat dalam diam bahwa mereka bertemu hanya untuk kedekatan yang sementara tanpa keintiman yang lebih. Di antara para penulis pun, mengharapkan kedekatan yang begitu erat dan intim. Hanya bisa terjadi di antara orang yang cocok. Jika tidak cocok, yang dilakukan hanya saling diam, menghindari, atau mengabaikan asalkan tidak mengganggu. Atau berbincang tapi tak ingin saling mendekat.

Hubungan yang benar-benar sangat rentan di antara para penulis.

Jika diperluas, akan menjadi hubungan umat manusia yang begitu mudah hancur dan berakhir. Humanisme berawal dari lingkaran kecil, yang ternyata juga gagal dalam membangun hubungan yang kokoh dan empatik. Kecuali hubungan toleransi semu dan acuh tak acuh.

Jika para penulis sendiri gagal dalam hubungan sosial individu dan kelompok. Apalagi yang bisa diharapkan dari sejarah umat manusia? Kecuali ulangan-ulangan dan igauan-igauan bersama. Khayalan yang dibangun di atas fondasi yang sudah hancur. Semua itu dilakukan hanya untuk sekedar mempertahankan kehidupan dan kehidupan.

Demi mempertahankan kehidupan, manusia rela mengalami ilusi dan delusi. Karena kenyataannya begitu menyakitkan. Karena kesimpulan sejarah dunia begitu mengerikan. Maka, khayalan indah itu penting. Demi mengabaikan fakta dan realitas. Agar terus bertahan hidup. Terus bertahan hidup.

Dan para penulis seringkali melakukan hal semacam itu. Demi menutupi kenyataan bahwa begitu mudahnya para penulis saling membenci.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang