BERDUKA ATAS JAKARTA

382 4 0
                                    

Jakarta, ibu kota yang dibangun oleh J.P. Coen. Kota yang pada masa Tempo Doeloe, sebagai Batavia, dianggap sebagai Ratu Dari Timur. Keindahannya dan kebesarannya hanya pernah disaingi oleh Bandung dan Surabaya. Kota-kota yang tumbuh berkembang di masa Daendels dengan jalan raya posnya yang terkenal itu. Jalan raya yang banyak dibenci. Tapi kini dikagumi oleh banyak sejarawan. Jalan raya yang membangun berbagai macam ibu kota modern di Jawa hari ini.

Dan Jakarta yang sekarang. Siapa pun yang pernah memasukinya. Pernah hidup di dalamnya. Pasti akan malu. Ibu kota yang buruk dan menyedihkan. Andrew Vltchek sangat benar ketika mencaci Jakarta. Dan juga begitu banyak orang lainnya.

Dan ketika Pilkada berakhir. Berbagai macam demo masih digelar. Konflik identitas semakin mengemuka. Jakarta masih tak berubah. Bila kau pernah memasuki berbagai macam kota di Jawa atau Indonesia. Jakarta adalah kota yang paling menyedihkan. Kota paling menyedihkan yang pernah saya masuki, lihat, dan renungkan.

Kota yang diisi oleh orang-orang berpendidikan yang gagal. Itulah Jakarta.

Kekalahan Ahok adalah bukti dari kengerian pola pikir sebagian besar warga Jakarta. Denny Siregar mungkin cukup benar, saat mengatakan bahwa kemenangan Anies bermuatan politik identitas dan emosional dari pada rasionalitas. Dan banyak warga Jakarta menyukainya. Bukan berarti aku tak menyukai Anies. Masalahnya, Anies dari segi apa pun, tak akan pernah bisa menang dari rimba Jakarta. Bukan sosok yang tepat bagi kota para monster berdiam dan menggeram. Akhirnya, 5 tahun kedepan akan lebih banyak disisi kepengecutan.

Sebenarnya Ahok juga bukan jawaban untuk Jakarta. Ahok yang, sangat menyesal saya katakan, contoh nyata dari orang baik yang akhirnya bagaikan kelinci percobaan beragam partai politik. Ketika kalah untuk menjadi orang baik tanpa partai. Akhirnya, harus merelakan diri maju dalam ajang politik dengan bantuan partai-partai. Di Jakarta, orang baik akhirnya menyerah terhadap kerumunan perpolitikan yang sudah error sejak dahulu kala. Ahok bukan pilihan yang tepat. Tapi dia yang masih cukup bagus dari pada yang lain. Dia kalah. Kini Anies, orang sangat beragama. Tapi gagasan-gagasannya, kelak, akan menghancurkan Jakarta lebih dalam. Anies lupa. Dia tidak berkampanye untuk menjadi lurah desa. Di mana tanah dan penduduk masih tak terlalu banyak. Dan tekanan infrastruktur tak begitu mengerikan. Dia sedang berkampanye untuk kota Jakarta yang hampir hancur secara fisik dan sosial. Populisme Anies, membuat Jakarta makin terpojok di sebuah dunia yang sedang menyambut dengan was-was 9 miliar manusia.

Jakarta sejak 400 tahun lebih, dibangun untuk para elite dan kelas-menengah. Dan dibawahi oleh para diktator. Itulah yang menyebabkan Jakarta nyaman dan indah. Populisme membuat Jakarta seperti sekarang ini. Kacau. Karena sejarah Jakarta tidak dibangun untuk rakyat banyak. Terlebih di atas 10 juta jiwa.

Setiap partai yang terlalu menekankan populisme. Pada akhirnya akan terus merusak Jakarta.
Populisme tanpa arah. Sekedar kampanye politik. Membuat Jakarta akan terus menjadi sekedar kampung. Kampung di pusat kekuasaan. Kota yang pada akhirnya, sekedar jadi bahan tertawaan dan olok-olok. Kelak, mungkin kita akan sering memakai atau menggunakan idiom seperti ini: jangan kaya Jakarta! Sial, dasar orang Jakarta! Lu Jakarta? Kota buruk dan menyedihkan itu ya? Jakarta? Sungguh memalukan? Dan sebagainya.

Atau mungkin sudah saatnya Jakarta ditinggalkan. Ya kita tinggalkan Jakarta dan membangun pusat yang lebih baru. Yang sebetulnya sama saja dengan sekedar memindahkan masalah.

Kota dengan penduduk yang kendaraannya mencapai 17 juta unit. Melebihi orang yang hidup di dalamnya. Dan masyarakat yang memuja gengsi, yang merusak kota itu sendiri.

Saya sendiri orang yang mengatakan, jauh sebelum pemilu, Ahok akan kalah. Sebelum kasus penistaan agama mungkin saya sangat optimis akan kemenangan Ahok. Setelah itu, sudut pandang saya berubah. Ahok akan kalah. Politik identitas di Jakarta sudah dalam kadar gawat. Tapi mau bagaimana lagi, ini Indonesia. Orang-orang rasional tak bisa membuat nyaman Jakarta bahkan semenjak Soekarno berkuasa. Era digital, Internet, dan generasi baru bertumbuhan, perkembangan otak mayoritas orang Indonesia lebih lambat. Tapi, tidakkah dunia juga sama saja? Amerika, Inggris, Turki, Rusia, Tiongkok, bahkan Eropa yang cukup toleran sedang kuat-kuatnya mempermasalahkan identitasnya.

Tapi Jakarta tak akan berubah jika hanya sekedar bertarung dalam skala identitas dan kekeraskepalaannya. Jakarta adalah megapolitan. Ibu kota negara. Tapi ibu kota yang tak bisa dijadikan contoh bagi kota-kota dan daerah-daerah di seluruh Indonesia. Pusat kota itu kalah indah dibandingkan Surabaya. Bahkan saya mungkin lebih suka dengan Kulon Progo, bagian Yogyatakarta, yang lebih indah, bersih, terlihat lapang, dan segar. Sedangkan pusat kota itu, Jakarta, diisi dengan orang-orang pintar yang hanya mengurusi macet saja nyaris tak sanggup.

Jakarta adalah bukti kegagalan dunia pendidikan kita. Mungkin Universitas Indonesia yang ada di sana, hanya cemoohan bagi kota yang rusak di sana-sini.

Ada yang menarik dari Editorial Media Indonesia, Virus Politik Identitas. Kebencian terhadap orang lain, yang berbeda dari kita, yang tak kita sukai, masih sangat berurat akar dalam tubuh penduduk Indonesia. Begitu juga Jakarta. Kota yang mayoritas penduduknya adalah orang miskin atau kelas menengah-bawah. Yang jika mampu, mereka juga akan lebih memilih jadi Abu Rizal Bakrie dari pada orang-orang yang sederhana dan bijak.

Lalu di mana politik atau kampanye Revolusi Mental kini? Apa yang terjadi dengan kampanye Revolusi Mental jika ibu kota dan warganya kian hari malah tambah menyedihkan?

Saat membaca artikel Saatnya Bubarkan Ormas Menyimpang di Media Indonesia, ada kalimat yang susah dicerna bahkan oleh saya sendiri; REPUBLIK ini masih eksis dan akan terus eksis jika empat pilar, yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, kukuh menopangnya. Tiada satu pun pihak yang boleh merapuhkan pilar-pilar itu agar Indonesia tetap berdiri tegak hingga kiamat kelak.

Kiamat kelak, utopisme koran nasional yang aneh dan sangat tak rasional. Jika banyak koran saja tidak rasional. Bagaimana dengan warga kota atau penduduk kebanyakan? Hingga LSI Denny JA juga masih terlihat di sana-sini. Masa lalu singkat di kesusastraan Indonesia begitu mudahnya terlupakan. Kita memang hidup di masyarakat yang memilih menganemsiakam diri sendiri sepanjang waktu hidup kita..

Jakarta 5 tahun ke depan. Anis harus bersiap dengan penurunan muka tanah yang anjlok 5-12 sentimeter pertahunnya. Yang bagi siapa pun pemimpinnya, harus siap dan berpikir untuk mengurangi pengambilan air minum bawah tanah. Berpikir ulang atas pembangunan gedung-gedung. Berpikir ulang atas ledakan penduduk. Berpikir ulang terhadap perubahan iklim dan prospek tenggelamnya Jakarta. Berpikir ulang mengenai limbah sampah. Berpikir ulang mengenai kemacetan. Dan berpikir ulang DP 0 persen yang akan membuat Jakarta lebih parah lagi.

Di negara ini, sayang tak banyak orang berpikir sampai 30 tahun ke depan. Begitu juga warga Jakarta kebanyakan. Terlebih orang miskin dan mereka yang ekonominya rendah. Fokus mereka harus ini dan besok yang pendek. Sedangkan elite politik dan warga beradanya, mengajari warga miskin dengan berbagai contoh yang buruk; gangguan jiwa, egoisme tingkat tinggi, hingga menggunakan mobil sehingga macet membuat frustasi siapa saja. Lalu, di sebuah kota yang elite politik, kelas kaya menengah dan bawahnya hampir sama pola pikirnya. Apa yang akan berubah dari Jakarta?

Pilkada setiap 5 tahun, sampai kita mati, tak akan menyelesaikan masalah Jakarta. Dalam wajah demokrasi liberalnya, Jakarta terpuruk. Dan sudah saatnya, kita turut berduka cita atas kegagalan ibu kota beserta warganya itu. Untuk 5 tahun dan selalu 5 tahun ke depan. Lagi dan lagi. Sampai Jakarta tenggelam, hancur, atau dilupakan.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang