BAPAK PELOPOR BUKU MAHAL DI INDONESIA. Itulah julukan yang aku berikan kepada Goenawan Mohamad saat aku tengah memegangi sebuah buku kecil miliknya, ukuran saku, kurang dari dua ratus halaman yang berjudul Si Ma-jenun dan Sayid Hamid. Dicetak mewah, enak dibaca, dan terasa menyenangkan saat dipandang. Buku ini habis dibaca satu dua jam saja, dengan harga hampir seratus ribu rupiah di mana aku bisa mendapatkan Moby Dick karya Melville yang hampir enam ratus halaman tebalnya dengan ukuran buku yang hampir sama.Aku bergantian membaca Moby Dick dan Si Ma-Jenun. Terpesona dengan detail yang digambarkan Melville dalam novelnya. Terlebih saat dia menjelaskan cukup rinci, dalam ukuran novel, paus spermanya yang terkenal itu. Karya Goenawan juga menyenangkan untuk dibaca hingga aku nyaris menghabiskannya tanpa harus perlu membelinya. Walau begitu, jika aku harus memilih, aku akan memilih Moby Dick. Selain harga buku Goenawan luar biasa mahal. Aku bisa membaca dalam sekali duduk saja. Setelah itu, semuanya selesai.
Hampir semua buku Goenawan Mohammad adalah buku-buku yang dijual dengan harga mahal. Terlebih saat dulu tak banyak penerbit dan sastrawan berani menjual buku semahal itu. Goenawan Mohamad dan penerbit yang menopangnya, berani menjualnya dengan harga sangat tak waras. Seolah-olah Goenawan ingin mengawali sambil mengatakan, "inilah aku, belilah aku, semahal apa pun tak masalah."
Dia berani berjualan nama, disamping tulisannya yang memang enak dibaca, yang seolah-olah kini menjadi tren di era kita. Sebuah tren di mana buku-buku tipis berharga luar biasa mahal dan saat para penerbit indie berubah menjadi monster-monster kapitalis.
Apakah Goenawan Mohamad lah yang mengawali hal semacam itu? Aku tak tahu. Aku menyematkan julukan sebagai bapak pelopor buku mahal di Indonesia karena aku melihat, dengan kekuasaan dan nama besarnya itu, Goenawan seolah-olah membenarkan, mengiyakan, dan juga merestui bahwa buku-bukunya memang layak dihargai mahal. Dan yang paling penting, dia melakukan pembiaraan dengan sangat sadar. Sadar bahwa buku miliknya seharusnya bisa dicetak sangat murah tapi dia membiarkannya menjadi cetakan mahal dan benar-benar nyaris seharga buku impor, yang malah akhir-akhir ini semakin murah dari pada buku-buku Sastra Indonesia.
Catatan Pinggir, rasa-rasanya tak akan pernah seharga lima puluh ribu atau cukup di kisaran tujuh puluh ribu saja kecuali terpaksa dibajak. Buku yang agak murah dari dirinya, sepertinya On God and Other Unfinished Things, Fragmen, dan puisi Don Quixote. Sementara buku-buku lainnya, sangat tipis, harganya benar-benar bisa menbuat sakit kepala.
Akhir-akhir ini buku Goenawan terasa menjadi lebih murah tapi terkadang rasanya sangat tak masuk akal. Buku-buku yang dicetak Tempo/Grafiti Pers seolah mengawali buku yang dicetak bagus, tipis, tapi mahal. Apakah memang benar begitu? Di sini, aku ingin ada orang lain yang membahasnya, asal mula ledakan mahalnya buku-buku di negara ini sampai buku-buku indie dengan harga rasa luar negeri.
Aku hanya sekedar ingin berkata, dengan pengaruhnya yang besar, Goenawan Mohamad seharusnya bisa membuat harga buku di Indoensia menjadi murah. Terlebih buku-buku miliknya sendiri. Tapi kenapa ia tak melakukannya? Dan ada apa di perbukaan Indie di Indonesia, di mana label Indie seharusnya membuat mereka malu saat menerbitkan harga buku tak masuk akal semacam itu?
Di perhelatan yang bernama Kampung Buku Jogja. Aku nyaris tak yakin, apakah orang-orang kampung yang miskin bisa membeli buku-buku yang harganya tak manusiawi itu. Ya, pada dasanya Kampung Buku Jogja hanya untuk orang kampung rasa kota dan orang kota rasa elite. Itulah sebabnya aku pernah mencoba memarodikannya menjadi Elite Buku Jogja. Sebuah kenyataan di mana idealisme semakin menjauh dari apa yang disebut indie.
Ya. Idealisme pun kalah dengan uang yang menggiurkan. Atau berdalih untuk menjaga pemasokan padahal kertas bisa menggunakan yang murah dengan sampul yang terlihat mahal yang nyatanya tak banyak mau melakukannya.
Saat pendidikan kita begitu mahalnya. Para sastrawan yang berhati manusia berusaha menyepakati bahwa buku dan pendidikan itu memang mahal. Para penerbit juga ikut serta dalam kelompok bersama ini. Dan mereka tak punya banyak kepentingan untuk mencoba memurahkan harga buku-buku, dengan cara berdemo bersama kepada pemerintah atau menuntut disediakannya anturan buku ramah lingkungan yang berharga murah.
Buku-buku bisa dibuat murah. Sangat murah. Para pembajak buku dan percetakan yang dianggap sesat, toh bisa melakukannya. Sejujurnya, alasannya cuma satu: pilihan. Goenawan Mohamad lebih sering memilih bukunya dihargai mahal. Para penerbit dan juga sastrawan kebanyakan juga memilih mencetak bukunya dengan kualitas yang mahal. Walau ada opsi murah dengan kualitas yang tak begitu jauh sangat siap tersedia. Mereka tak mengambilnya.
Memandang buku-bukunya seperti Debu. Duka. Dsb. Itu terasa menyakitkan. Sama menyakitkannya saat memegang Puisi dan Antipuisi, Tujuh Puluh Puisi, Marxisme Seni Pembebasan, sampai pada edisi agak baru, yang dicetak mirip di toko-toko buku bajakan tapi berharga luar negeri. Buku itu berjudul Pada Masa Intoleransi.
Ya. Memang. Goenawan Mohamad memang bapak pelopor buku mahal di Indonesia. Hingga kadang aku sempat berpikir, saat hari ini aku mendekati rak yang tengah memajang karya besarnya Ahmad Tohari yang dicetak tak kalah bagusnya, Ronggeng Dukuh Paruk, yang sejak aku pertama kali mengenal sastra hingga hari ini, sedikit sekali mengalami kenaikan yang sangat berarti. Kenaikan buku itu bagaikan siput yang merayap di tengah rimba pesawat jet seperti buku-buku Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Eka Kurniawan, Laksmi Pamunjtak hingga Dee, yang lebih menyerupai rak buku yang ada di Periplus dan Book & Beyond.
Buku dicetak dari proses menghancurkan alam dan rumah tinggal banyak hal di sekitarnya. Saat dibawa ke sekolah, buku berubah menjadi status sosial dan kesombongan identitas yang bernama pendidikan yang diajarkan kepada semua anak yang keluarganya cukup mampu. Dan pada akhirnya, saat buku-buku berada di rak buku di toko-toko buku di seluruh Indonesia. Buku menjadi pengejek sempurna, tanpa belas kasihan, tanpa empati, terhadap anak-anak miskin yang mati-matian bertahan antara memilih makan atau mati demi sebuah buku, yang harganya bisa digunakan untuk membeli makan nyaris satu bulan, melunasi hutang kos dan membayar uang sekolah dan biaya kuliah.
Dan setahu aku, para sastrawan, pembaca buku, penulis buku, hingga penerbit buku, membiarkan hal ini menjadi hal yang umum dan wajar. Sebuah bentuk dari ketidakpedulian ekstrim terhadap humanisme dan keadilan sosial yang seharusnya diemban oleh buku yang menyebarkan ilmu pengetahuan.
Dan yang lebih parahnya lagi, para pelaku buku indie ikut berpesta pora, berdansa bebas dalam lautan buku mahal dan sebuah dunia, di mana borjuisme dan kapitalisme menjadi hal yang menyenangkan dan menggiurkan untuk direngkuh.
Rasa-rasanya sudah sangat lamanya aku tak memakai istilah borjuisme dan kapitalisme. Tapi di sini, rasa-rasanya begitu sangat tepat saat menggunakannya kembali.
Lihatlah, Ronggeng Dukuh Paruk seharga delapan puluh ribu. Si Ma-jenun dan Sayid Hamid dihargai hampir seratus ribu. Dan sialnya lagi, para sastrawan muda yang buku-bukunya berkualitas muram dan seringkali sangat menyedihkan, berani terang-terangan melompati harga buku dari Ahmad Tohari itu. Ini bukanlah hal gila. Tapi inilah yang disebut kenormalan yang telah ada di sekitar kita sehari-hari.
Rasa-rasanya, perbukuan di Indonesia akhir-akhir ini memang tengah menyuarakan etos Goenawan Mohamad yang aku lihat dalam cara seperti ini: "Beli aku. Lihat namaku. Mahal? Tak jadi soal kok. Namaku memang mahal untuk kalian beli!"
Di sinilah, empati tak berlaku untuk kamu yang miskin, kere, dan tak memiliki kantong untuk bisa diisi uang. Inilah sebuah abad, di mana buku-buku lebih mirip pembunuh keji dan begitu anti akan empati manusia kecil lainnya.
Inilah abad Anti-Empati. Dan harga buku-buku beserta proses pembuatannya sangat jelas mencerminkan hal itu. Sedangkan Goenawan Mohamad, contoh nyata dari keberpihakan akan bermunculannya buku-buku mahal itu.
Tidakkah dia bapak pelopor buku mahal di Indonesia?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...