SAMPAH ADALAH IMAN

2.4K 86 9
                                    

Semoga Tuhan membuat neraka khusus bagi mereka yang membuang sampah sembarangan.

Dan jika Tuhan terlalu lama membuatnya. Maka kita buat sendiri neraka itu. Khusus untuk mereka.


Setiap hari, aku memakan sampah.
Makanan ringan yang terbungkus plastik. Kerupuk yang terbungkus plastik. Keripik yang terbungkus plastik. Air yang terbungkus plastik. Pil obat yang terbungkus juga dari plastik. Perabotan musik dari plastik. Ban kendaraan dari plastik. Meja dari plastik. Gadget yang sebagiannya dari plastik. Headset, earphone, hingga segala tetek bengek yang nyaris semuanya dari plastik.

Dan sayangnya, buku-buku yang aku sukai juga terbungkus dan dilapisi plastik. Ke toga mas, gramedia, gunung agung, periplus, maupun online shop, plastik susah dihindari. Jasa pengiriman pun selalu menggunakan plastik. Rasa-rasanya, bisa jadi tubuhku juga terbuat dari plastik.

Indonesia adalah penyumbang terbesar kedua, pembuang plastik lautan di bawah Tiongkok. Mengagumkan? Sangat. Itu berarti orang Indonesia sangat luar biasa. Tidak hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai perusak. Dan anehnya, tanpa sadar dan pemerintah pun tak terlalu ambil pusing.

Karena plastik pada akhirnya menjadi sampah. Maka dari itu, sampah lebih luas dan besar cakupannya. Hingga membuat warga bersungut-sungut, walikota dan gubernur berang, negara lain memaki-maki. Belum juga sampah udara berupa kebakaran hutan, pembakaran ladang, dan sampah manusia yang duduk di kursi-kursi layanan negara.

Sial, benar-benar sial memang. Plastik lebih populer dari pada tuhan dan artis paling tersohor sekalipun. Plastik telah jadi iman. Sampah telah jadi jati diri. Tak ada seharipun tanpa sampah yang harus kita konsumsi. Dan, apa yang tergeletak di kamar mandi kita, kamar kecil kita, dan ruangan rumah kita, sebenarnya hanyalah sampah yang menunggu kita buang. Saat kita pindah kontrakan. Ganti rumah baru. Atau saat kita meninggal. Kita telah menumpuk sampah di dalam diri kita masing-masing. Sayangnya, yang kita tahu, adalah sampah yang tergeletak di jalan-jalan. Dan lupa, bahwa baju yang kita pakai, buku catatan yang kita miliki, aksesoris yang kita beli, hingga handphone dan segala macam yang kita miliki, adalah sampah dan juga sampah.

Sama halnya saat kita membeli es berbungkus plastik gelas karena haus. Kita membuangnya seketika saat sudah tak lagi butuh. Bahkan, seringkali juga, kita membuang orang-orang yang tak lagi kita perlukan di dalam dunia kita sehari-hari.

Di desa, di hutan, pinggiran jalan, di atas rerumputan, berbagai macam kota, sungai, laut, dan televisi hingga media, bahkan otak kita. Sampah telah menjadi tradisi. Sampah organik maupun anorganik. Sampah berbentuk benda-benda maupun manusia.

Edwars Abbey, pernah berkata bahwa hanya pencinta lingkungan yang matilah yang layak disebut pencinta lingkungan. Duh, sayangnya dia keterlaluan benar. Karena kita-kita yang hidup ini, senantiasa mengeluarkan karbon, menebang pohon-pohon, memproduksi dan membuang sampah setiap harinya. Mungkin, ada yang berharap sampah hilang dari pandangan mata. Dari jalan-jalan dan tiap sudut kota yang kita kenal. Dari kampung dan desa-desa di mana kita hidup. Ah, padahal, kita sudah sangat tahu. Kita semua hanya sekedar menginginkan sampah yang buruk tak nampak di depan kita. Dan seperti kebanyakan dari kita, kita membuangnya di suatu tempat jauh dari kediaman kita, yang mungkin sampah yang tak kita inginkan di kota kita itu, menjadi masalah dan penyakit di suatu tempat. Apa masalah selesai? Tidak. Kita hanya sekedar melempar masalah itu saja nyaris setiap hari.

Menguburnya, akan berpotensi aquifer atau kolam air bawah tanah tercemar. Membakarnya, jelas akan menjadi kabut asap yang beracun. Membuatnya menjadi hal yang berguna atau daur ulang, duh maaf, dari sekian ratus ribu ton di berbagai macam kota, hanya sekelumit ton yang jadi daur ulang. Dan daur ulang itu, sama saja adalah sampah. Orang selalu berpikir, bahwa barang baru yang kita pakai bukanlah sampah. Padahal semua yang kita buat lewat tangan dan pabrik-pabrik kita, sejak detik pertama jadi, sudah dan bisa kita sebut sebagai sampah.

Apakah aku keterlaluan dalam berpikir dan mengkhayal? Maaf, sayangnya seperti inilah otakku.

Beberapa waktu yang lalu, seorang teman yang sangat rajin dan baik hati, sangat antusias untuk menyelamatkan wajah kota dari sampah yang hampir menenggelamkan kotanya. Ah, dia memperkenalkan padaku tentang orang-orang yang tergabung dalam gerakan garuksampah. Jujur saja, aku sangat tertarik. Tapi entahlah, tubuh dan jiwaku lagi bermasalah. Dan sayangnya, otakku juga bermasalah. Sangat disayangkan. Otakku sudah keterlaluan bermasalah.

Jika temanku memandang sampah adalah benda atau sisa apapun yang ada, dibuang atau tergeletak dan menumpuk di jalanan. Sialnya, otakku ini memandang sampah sangat berlainan. Bagi otakku, semua pabrik yang berproduksi, toko-toko yang masih buka, mal dan berbagai ritel yang masih melayani pembeli, dan hingga sepanjang jalan malioboro, pasar gedhe, bringharjo dan toko buku di taman pintar, adalah sampah. Jika ingin mengurangi dan menghentikan sampah, kita harus juga menutup dan menghentikan seluruh produksi dan perdagangan bahan-bahan sintesis atau kimiawi buatan. Itu berarti, kita kemungkinan besar harus telanjang bulat. Atau menggunakan kayu, pelapah pisang, merajut kain kita sendiri dan lainnya, untuk menutupi diri kita sendiri. Dan ucapkan selamat tinggal terhadap kehidupan modern kita hari ini yang ditopang oleh kehidupan industri.

Dan, atau mungkin otakku yang keterlaluan bermasalah? Oh, ya, kemungkinan besar itu. Dan ah, selama kita, manusia hidup, keinginan bebas sampah layaknya utopia semacam surga yang tak mungkin. Kali ini, mungkin aku akan lebih realistik, sesuai kenyataan, yang lebih identik dengan menghindari kenyataan. Berjalanan di sepanjang jalan. Memunguti sampah yang tak diakui. Hingga aku menua. Mati. Dan, tak pernah selesai.

Oh, bagaimana selesai kalau manusia adalah sampah itu sendiri?

21/09/2016

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang