Berusaha menjadi penulis adalah kesalahan terbesarku, yang akhirnya baru aku merasa yakin, setelah aku sakit nyaris selama dua bulan. Selama itu, tidak hanya aku nyaris beristirahat total karena tubuhku sakit-sakitan. Aku pun nyaris tak memiliki pemasukan sama sekali kecuali beberapa ratus ribu dan semuanya habis untuk makan dan membeli obat. Pada akhirnya aku hampir tak bisa menulis sama sekali. Dengan tubuh yang terus sakit seperti ini, berusaha menjadi penulis adalah kekeliruan yang benar-benar konyol. Terlebih dengan keadaan serba kompleks, dari mulai bipolar, imunitas yang turun dratis sehingga setiap hari nyaris sakit, keuangan kacau balau dikarenakan sakit dan fokus untuk bisa menulis, dan berusaha menghasilkan gagasan-gagasan baru, beda, dan jarang ditampilkan di negara ini, adalah kesalahan paling serius dari sepanjang kehidupan mudaku.
Betapa naifnya diriku? Aku kini bisa berpikir seperti itu untuk diriku sekarang ini.
Keadaan ini nyaris tak ubahnya dengan dengan Herman Melville, George Orwel dan Charles Dicken yang jatuh miskin dan sekarat karena menulis tak menghasilkan sepeser uang pun. Menulis, pada akhirnya, tak hanya merusak kesehatanku, tapi juga pertemanan dan sumber keuanganku. Yang aku katakan sebagai 'menulis' adalah pencarian akan gagasan dan perdebatan akan nilai-nilai terdalam manusia. Ini sangat menyusahkan karena aku berada di negara Indonesia yang masyarakatnya tak menghargai pencarian intelektual. Aku harus segera mengakhirinya dan beristirahat total dari berpikir dan keinginan untuk membeli buku. Mungkin ini keputusan yang paling menyedihkan dalam sejarah hidupku. Tapi kalau aku tak berusaha menyelamatkan diri sendiri. Siapa yang akan menyelamatkanku?
Untuk apa meneruskan gagasan-gagasan yang tak dianggap, membuat diri kelaparan, dan berusaha berpikir berbeda di negara bernama Indonesia?
Akhir-akhir ini aku sudah berusaha untuk menekan isi kepalaku dan berusaha untuk tidak menulis terlalu banyak dan berpikir serta merenung terlampau banyak. Aku juga sudah berpikir untuk menjual seluruh isi perpustakaanku yang tersisa. Membatasi diri untuk membeli buku dan sangat membatasi diri untuk berpikir lain. Membakar sebagian besar buku yang aku anggap buruk.Tapi aku masih gagal. Kepalaku berisi ratusan buku yang siap jadi asalkan aku memiliki keuangan yang cukup dan ribuan gagasan yang terus tumbuh di dalam kepalaku setiap harinya. Jika terus seperti ini, aku akan benar-benar sangat menderita.
Saat dalam keadaan termiskin (karena aku mencari uang sendiri. jadi jika sakit, otomatis pemasukanku terpotong. apalagi jika sampai berbulan-bulan. aku benar-benar bisa menjadi sangat miskin) dan tubuh yang sakit, menjadi penulis seperti yang aku inginkan layaknya semacam persiapan untuk bunuh diri. Karena menulis butuh fokus yang luar biasa, yang berarti, aku membunuh pemasukan keuanganku sendiri yang sedikit mengamankan diriku dari sakit berlebih dan kebosanan yang datang setiap hari.
Orang bisa bangga menyebutnya dirinya penulis saat menulis remeh temeh bernama Dilan, buku-buku Asma Nadia dan Tere Liye lalu Sastra Indonesia dan sebangsanya. Nyaris sedikit kebaruan. Mereka menulis sebagian besar untuk mencari uang dan dikenal, dan bukan untuk memcari gagasan dan fakta-fakta baru. Bagiku itu bukan menulis. Tapi sekedar menyuapi orang-orang bodoh dan memanfaatkan otak bodoh mereka dan mencuri habis-habisan uang mereka tanpa mendapatkan pengetahuan dan sudut pandang baru. Itu tak ubahnya penipuan secara terang-terangan dalam dunia tulis-menulis. Jika menulis hanya kegiataan semacam itu, lebih baik aku kembali menjadi pedagang atau berusaha menjadi pengusaha saja. Menjual barang dan mencari cara baru untuk mendapatkan uang, tidakkah malah itu lebih baik dari pada menulis? Karena menulis, tak ubahnya dengan barang dagangan di pasar sekali buang. Lalu, orang tolol macam apa aku ini yang masih berusaha untuk tetap di tempat ini?
Kebanyakan penulis besar Indonesia menjadikan menulis adalah kegiatan kedua atau sampingan atau kegiatan utama untuk sekedar mencari uang. Itulah kenapa mereka berusaha untuk tak berpikir aneh-aneh yang bakal menghabisi diri mereka dalam dunia itu. Saat menulis menjadi kegiataan kedua, mereka tak ingin berusaha keras untuk meneliti, untuk melakukan kajian serius, dan berusaha menghasilkan dan menghadirkan sesuatu yang jarang ada. Tulisan dari otak dan tangan mereka tak ubahnya sekedar cemilan sementara, yang akhirnya digantikan cemilan lainnya (buku), dan terus seperti itu.
Dengan fakta yang aku temukan di lingkungan para penulis dan sastrawan di sekitarku dan menilai keadaan tubuhku sendiri, aku benar-benar ingin berhenti total dalam kegiataan menulis dan membeli buku. Godaan untuk terus membeli buku akan aku enyahkan dengan mengganti perpustakan berbahan kertas dengan perpustakaan digital. Lagian, aku sudah mulai terbiasa membaca secara digital dan ke mana pun aku berada, ditemani oleh ribuan buku di dalam ponselku. Ini juga bisa sedikit mengenyahkan kegilaan menyedihkanku, kehausanku terhadap buku yang terbuat dari pohon-pohon.
Dalam deklarasi diri ini, aku akan membakar sebagian besar buku Sastra Indonesia yang aku anggap buruk dan menuliskan alasannya kenapa aku melakukannya. Selain itu, aku akan menjual semua buku yang bisa aku jual. Aku juga akan berusaha mati-matian untuk tidak menulis lagi kecuali beberapa syarat khusus yang hanya diriku yang tahu. Sebenarnya untuk apa sih aku menulis untuk silent reader, pembaca senyap, yang mereka entah suka atau tidak terhadap tulisanku. Menulis gratis untuk pembaca senyap, lebih baik aku berhenti sama sekali menulis. Karena itu tak ubahnya aku menulis untuk para hantu dan orang-orang yang tak memiliki bentuk.
Setelah novelku selesai, aku ingin mewujudkan keinginanku ini. Menulis tak menbuatku bahagia dan aku ingin segera mengakhirinya. Lagian, banyak orang kaya dan berkecukupan lebih puas menjadi konsumen dan menulis hal-hal sepele secara terus-menerus. Lalu untuk apa aku terus mempertahankannya? Aku sudah menyerah. Dan menyerah sepertinya akan jauh lebih baik dari pada meneruskan segala sesuatu yang berkembang semakin buruk.
Bisa keluar dari neraka dunia kepenulisan Indonesia, bagiku sendiri adalah pencerahan. Apakah aku akan menyesalinya? Aku tak tahu sebelum aku benar-benar mencobanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Acakaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...