Banyak orang berbangga dengan apa yang mereka anggap benar dan baik. Dan selalu berkata, dia sosok yang jahat, kejam, bengis, psikopat, dan banyak ujaran kebencian lainnya. Kadang aku berpikir, malah terlampau sering, apakah dia juga tak sama jahatnya? Ini akan bisa mirip dengan Gandhi yang menolak kekerasan tapi juga melakukan kekerasan. Seandanya Gandhi memilih kekerasan. Tapi Gandhi, tak bisa memilih kekerasan jika dia ingin menyampaikan hal-hal yang berkaitan dengan nir-kekerasan. Atau dalam kisahnya yang terkenal, saat Gandhi dimintai seorang ibu untuk menasehati anaknya agar tidak memakan permen lagi. Maka yang dilakukan Ghandi pertama kali adalah berhenti total sebelum memberi nasihat yang dia sendiri tak bisa melakukannya. Dan, agar kita menasehati orang agar tidak menjadi jahat. Maka cara terbaik adalah berpuasa terhadap hal-hal yang sejak pertama, bisa dinilai sebagai kekerasan verbal. Kekerasan yang jauh lebih mudah diucapkan, tak disadari karena sudah menjadi bagian dari diri, dan dianggap wajar.
Cara termudah agar tidak dianggap sok baik, sok bermoral, sok benar, dan sok berperikemanusiaan, adalah mengakui segala kemungkinan yang ada dalam diri seseorang. Mengakui bahwa dia juga pernah jahat dan bisa menjadi jahat. Bahkan sehari-hari menjadi jahat walau dalam skala tak terlalu besar seperti yang dilakukan Hitler, Mao, atau Stalin. Atau cara yang lain, dia bisa berubah kapan pun, karena dia adalah seorang manusia, bukan patung atau kotoran kerbau yang tak dianggap penting dan tak memiliki kesadaran dan hati.
Orang disuruh terus-menerus menjadi baik tanpa tahu maksud dari baik sendiri itu apa. Orang-orang seolah sudah tahu apa itu baik dan benar. Tidakkah lebih adil kita mengatakan baik dan benar hanya untuk masa sekarang, sesuai kepentingan tertentu, dan jangka waktu terbatas? Atau kebaikan dan kepentingan sesuai maksud dan hasrat kita masing-masing?
Orang mengecam kejahatan tapi juga melakukan pembunuhan untuk menghilangkan kejahatan itu. Tidakkah kita, dalam artian paling dasar, sama jahatnya? Entah apa pun alasan kita untuk membenarkannya. Dan yang paling mengerikan, kita mengecam berbagai hal yang kita anggap jahat dari orang-orang yang secara terang-terangan meminta bantuan agar mereka tidak berubah menjadi sosok jahat yang tak diinginkan orang-orang. Aku akan melakukan pembelaan terhadap orang semacam itu. Yang sejak awal sudah tahu, kondisi hidupnya bisa mengarah pada kejahatan, dan sudah mencoba minta tolong orang-orang, tapi tak ditanggapi, diacuhkan, atau bahkan dihina dan ditertawai.
Asal mula kejahatan, salah satu di antaranya adalah masyarakat, atau orang-orang kebanyakan, tak lagi memiliki kepedulian sosial dan empati yang besar terhadap orang yang menderita, sakit, dan butuh pertolongan. Sebuah masyarakat yang menganggap nilai-nilai kebaikan dibutuhkan dan kemanusiaan dijunjung tapi pada kenyataan sehari-hari telah melakukan berbagai macam kekerasan dan berperilaku jauh dari nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan, biasanya menyimpan luar biasa banyak monster. Ada yang tak mau mengungkapkan dirinya, sehingga saat terjadi kejahatan, orang-orang langsung menuduhnya sebagai penjahat, keji, dan kejam. Ada yang sudah berulang kali meminta bantuan, tapi orang-orang mengacuhkannya dan menyuruhnya lebih baik mati. Maka, jika orang yang terakhir pada akhirnya melakukan bom bunuh diri, terorisme, dan menjadi diktator kejam. Orang-orang kebanyakan pun mengatainya sebagai penjahat, keji, kejam, dan tiran yang harus dimusnahkan. Padahal, dia lahir dari masyarakat yang mencampakannya, membuang habis empati, dan kemanusiaan. Masyarakat yang kehilangan empati dan keinginan bergegas membantu orang yang butuh pertolongan. Pasti akan menghasilkan orang-orang jahat yang tidak diinginkan. Soalnya, masyarakat itu sendiri sama jahatnya dengan orang-orang yang dianggap jahat oleh orang banyak. Dan kejahatan selalu bersifat subyektif, sesuai zaman, kepentingan, dan siapa yang menang dalam sejarah peperangan dan kekuasaan. Tapi kejahatan dalam sifatnya yang dasar, yang lebih filosofis, akan menerkam siapa pun, yang melakukan kejatahan dengan maksud dan keinginan apa pun.
Atas nama kemerdekaan, banyak orang beramai-ramai menggantung orang-orang lainnya. Atas nama agama, orang beramai-ramai membakar dan membantai orang-orang lainnya. Yang satu menganggapnya jahat. Satunya lagi, juga menganggap sebagai sosok yang jahat. Korban dan pelaku, hanya ada dalam imajinasi kita masing-masing. Sebuah ilusi yang diciptakan bersama atau diciptakan orang yang lebih kuat.
Tapi, apa yang ingin bicarakan adalah orang yang memiliki banyak hal di dalam dirinya, yang mana, bagian kecil dari dirinya bisa menjadi luar biasa jahat dalam cara pandang universal dan keumuman yang hari ini diakui, tapi teriakan minta tolongnya tak ditanggapi. Banyak orang melakukan kejahatan tapi tak pernah ditolong untuk keluar dari potensinya melakukan kejahatan itu. Tidakkah, saat kita tahu itu, mengabaikannya, dan tak menganggapnya, kita sama saja dengan penjahat itu sendiri? Melahirkan penjahat yang seharusnya bisa kita cegah? Atau pada dasarnya kita tak mampu dan sama jahatnya dengan orang itu sehingga kita menertawakannya dan tak memedulikannya dengan seksama.
Tanpa empati timbal balik, kejahatan bak cermin.
Kegaduhan orang-orang meneriaki para teroris, penjahat perang, mereka yang bunuh diri, melakukan kekerasan, dan mereka yang terganggu jiwanya dengan tanpa menilai diri sendiri, adalah hal yang sama jahatnya dalam sisi yang paling dasar. Kecuali berani mengakui dan berkata, aku melakukan kejahatan dan membunuh kalian demi negaraku. Aku bersalah, kalian boleh menyalahkanku. Tapi demi orang terbanyak, kejahatan ini terpaksa aku lakukan. Keterbukaan semacam itu, sedikit yang berani melakukannya, karena akan dicerca oleh orang-orang sok suci, yang sok tak memiliki kejahatan sehari-hari, yang merasa paling baik dan tak melakukan tindakkan kejam apa pun. Dari mengabaikan para pengemis, anak yatim, hingga merasa tak berkepentingan dengan korban bencana, tabrak lari, dan kemiskinan di sampingnya sendiri. Kejahatan bermula dari masyarakat yang tak sadari diri bahwa dirinya menyimpan banyak kejahatan yang dilakukannya sehari-hari tapi tak mau mengakuinya.
Itulah sebabnya, dunia berjalan tanpa akhir. Tak ada kehidupan bak surga. Surga pun membutuhkan kejahatan untuk menjadi surga. Dan di samping surga, banyak orang menderita di neraka yang panas dan mengerikan. Jika neraka ada.
Hal lainnya yang tak kalah jahatnya dengan kejahatan itu sendiri adalah mengutuki kejahatan yang dilakukan seseorang tanpa tahu duduk perkaranya. Tak mencoba mendalaminya dan tahu sebab-sebabnya. Terdapat banyak orang, dari psikolog, psikiter, ilmuwan sosial, biolog evolusioner, pemikir politik, sejarawan, dan banyak lainnya yang menulis buku dan pengamatan akan bagaimana kejatan menjelma dan bermula. Mereka mendekati kejahatan dengan cara yang cukup dalam dan mendekati begitu dalam untuk memahami semuanya. Dan terkadang, bahkan mereka terenyuh dengan para penjahat itu karena memiliki masa lalu yang buruk sehingga kejahatan yang dilakukannya bisa terjadi. Tapi kejahatan tetaplah kejahatan. Setidaknya, mereka tahu, bahwa kejahatan tak serta merta terjadi. Seperti para pengidap gangguan jiwa yang tiba-tiba membunuh orang lain, padahal bertahun-tahun sudah meminta tolong tapi diabaikan begitu saja. Siapa yang lebih jahat? Penderita gangguan jiwa atau masyarakat?
Banyak orang, selama aku hidup, mengutuki kejahatan orang lain tanpa tahu kejahatannya sendiri setiap hari. Jika dunia manusia kebanyakan terus-menerus seperti itu, jelas, perubahan yang nyata, kedamaian yang berlangsung cukup lama, tak akan pernah terjadi. Dan hanya sebuah utopia yang mungkin. Orang harus berani mengutuk kejahatannya sendiri sebelum mengutuk kejahatan orang lain. Atau mengutuki kejahatan orang lain sambil mengakui kejahatan diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
De Todoaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...