"Aku hanya menulis, dan menulis, dan menulis. Tidak semua kuumumkan, lebih banyak lagi yang kubakar," tulis Pramoedya mengenang kehidupannya dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Aku sendiri, seandainya aku menulis dengan bahan berupa kertas, mungkin hari ini, telah banyak tulisanku sendiri yang aku bakar. Saat Pram berada pada masa-masa tersulitnya, saat menulis tak lebih dari kata lain dari seorang budak, dan tulisan-tulisan yang dia buat hanya menambahkan rasa cemas dan frustasi dengan keadaan sekitar dan kehidupan pribadinya. Menulis menjadi sangatlah mengecewakan dan tak lagi membuat hati merasakan kesenangan dan hal yang bernama kebahagiaan.
Saat aku sudah nyaris di ambang batas kehilangan kepercayaan terhadap buku-buku. Aku juga hampir sampai kehilangan kepercayaan terhadap menulis beserta prosesnya. Untuk siapakah aku sebenarnya menulis? Dan untuk apa?
Saat-saat ketidakpercayaan terhadap kegiatan menulis terjadi. Aku teringat dengan van Gogh, seperti yang ditulis oleh Irving Stone dalam Lust for Life: "Apa yang akan aku lakukan dengan hidupku? Aku terus hidup seperti ini selama bertahun-tahun karena aku harus melukis, karena aku harus mengungkapkan sesuatu yang membakar di dalam diriku. Tapi tidak ada lagi yang membakar di dalam diriku. Aku hanya tinggal cangkang."
Kehidupan van Gogh nyaris mirip dengan hampir semua orang yang pernah merasakan proses menjadi seniman dan tentunya, mereka yang menyebut dirinya sebagai penulis. Entah sudah berapa banyak orang-orang yang dulu aku kenal, nyaris berhenti menulis sama sekali, beralih profesi, atau gagal total sebagai penulis karena berbagai macam alasan. Hal yang menghancurkan van Gogh tak jauh beda dengan yang menghancurkan banyak penulis yang pernah ada. Saat tulisan sudah tak lagi bisa bersuara dan tak lagi diterima oleh orang lain. Untuk apa kita masih terus mempertahankan proses yang percuma ini?
Itulah yang terjadi padaku beberapa tahun terakhir. Saat aku tahu bahwa kegiatan membaca dan buku-buku tak banyak membuat orang saling mendekat dan memahami. Menulis pun tak membuat apa yang aku tuliskan dipahami oleh orang-orang. Sebanyak apa pun aku menuangkan pikiran dan perasaanku dalam tulisan-tulisanku. Dunia masih saja tertutup rapat. Orang-orang tak ingin mendengar, tak ingin tahu, dan tak ingin peduli. Menulis yang pada akhirnya akan berujung pada proses timbal balik, saling bertukar kisah, mengenal lebih dekat, dan saling memahami sampai timbulnya rasa simpati, empati, dan kegairahan yang sama, memudar dalam abad besar anti-empati. Saat orang-orang terlalu gelisah, sakit, dan rusak. Memberi waktu untuk memahami tulisan orang lain, memasukinya, dan merasakan apa yang dirasakan si penulis, sudah tak banyak berlaku. Membaca adalah proses kepuasan si pembaca buku, yang seringkali tak peduli dengan keberadaan si penulis yang membuat buku itu. Hidup atau mati. Sehat atau sekarat. Pembaca tak lagi merasa berkepentingan untuk tahu. Jadi pada akhirnya, mereka yang menulis hari ini, biasanya tak lagi menulis untuk diri sendiri. Tapi menulis hanya sebagai pekerjaan atau kegelisahan sampingan.
Seorang penulis yang bukunya dicetak jutaan ekslempar dan digilai orang ribuan hingga jutaan orang. Ada saatnya dia berpikir, dari ribuan pembacaku, kenapa tak satu dari mereka yang memahamiku? Pada saat-saat tertentu, para penulis besar pun ingin dipahami. Tidak hanya untuk dibaca dan sekedar menjadi pelampiasaan ego masing-masing pembaca. Tapi apa yang terjadi dengan penulis kecil yang tak terkenal?
Jika menulis dan membuat buku hanya, dan selalu hanya untuk memberikan kepuasaan terhadap pembaca dan selalu hanya untuk pembaca. Maka buku-buku tak ubahnya sekedar produk jualan dan benda-benda pemuas kesenangan konsumen. Lalu apa artinya menjadi penulis? Di mana, para penulis biasanya menulis agar mendapatkan teman bicara, orang yang bisa mengerti pikiran dan perasaanya, bisa saling memahami, dan menjadi penyokong di saat susah dan sakit. Tapi bagaimana jika dia tak menemukannya dan para pembaca hanyalah diisi dengan jenis masa bodoh?
Yang terjadi, mudah kita duga. Banyak di antara penulis dan seniman akhirnya mati bunuh diri, gila, hancur atau berhenti menulis sama sekali, kecewa, dan marah. Karena menulis tak hanya untuk sekedar memuaskan pembaca. Tapi terlebih untuk diri sendiri. Untuk pikiran, hati, dan jiwa kita sendiri.
Di era anti-empati, menulis tak lagi banyak mampu membangun hubungan-hubungan. Masyarakat dan orang luas sudah terlampau memampatkan dan menutup hatinya. Mereka hanya ingin menganggap tulisan sekedar bahan dagangan, dikunyah, dinikmati, dan dikagumi hanya untuk memuaskan keberadaan diri mereka sendiri. Tak jauh beda dengan orang yang tengah berbahagia, senang, dan merasa nyaman dengan membeli handphone baru, kendaraan baru, dan segala jenis benda keseharian yang fungsinya sekedar membantu kita menikmati hidup di dunia ini.
Hemmingway bunuh diri. Virginia Wolf juga melakukannya. Nietzsche gila. Sade sekarat. Tolstoy depresi akut. Dostoyevsky selalu menjadi orang asing. Socrates dipaksa membunuh dirinya sendiri. Darwin dikecam, diancam, dan nyaris dikutuk selama dia hidup. Richard Dawkins mengalami nasib yang serupa. Beberapa di antaranya memiliki nasib seperi Salman Rusdhie atau dipenjara dan disingkirkan layak Pramoedya. Melville memutuskan berhenti menulis. Faulkner tak dianggap penting pada awalnya. Schopenhauer terasing. Karl Marx miskin dan seperti gelandangan. George Orwell kelaparan dan nyaris tak memiliki apa-apa. Spinoza dikucilkan. Para filsuf pencerahan dikecam, buku dibakar dan keselamatan mereka diancam. Marquez pun mudah diabaikan oleh seseorang saat ada di pesawat. Camus yang tetap kesepian. Wallace yang dianggap sinting, melenceng dan masih tak terlalu dihargai selama hidup. Dan Freud yang nyaris dianggap iblis, banyak orang yang tak menyukai dan menganggapnya berbahaya.
Hampir semua tokoh besar dalam dunia tulisan dan buku-buku. Tak pernah mengalami hidup yang membahagiakan dan seringkali tak dianggap ada dalam masyarakat mereka berada. Keberadaan mereka hanya diakui oleh sebagian kecil lingkaran pertemanan mereka. Keluar dari itu, masyarakat luas dan pembaca, tak terlalu banyak ingin memahami dan memberi dukungan. Beberapa penulis besar mungkin didukung secara moral, politik dan keuangan. Tapi ada yang jauh lebih penting dari itu, sesuatu yang luar biasa banyak penulis inginkan, yaitu dipahami dan diperhatikan. Terlebih bagi mereka yang emosional, hidup demi pencarian eksistensial, dan menulis untuk mengerti diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Menulis menjadi sangat terkait dan terikat dengan segala aspek yang penulis miliki. Menulis bukan hanya sekedar menghasilkan barang dagangan dan kegiatan mencari makan. Tapi lebih ke arah mencari makna dan untuk apa sebenarnya kita ada di dunia ini.
Titik terlemah dari dunia tulis-menulis adalah kecenderungan masyarakat kita, nilai-nilai kita, dan anggapan kita bahwa menulis adalah kegiatan untuk memanjakan para pembaca di era kapitalisme, konsumserisme, dan para pembeli adalah raja dengan uang di tangan dengan perubahan suasana hati yang bisa memvonis mati para penulis kapan saja. Para penulis pun ditentukan oleh para pembelinya. Para penulis akhirnya menjadi buruh. Menulis untuk memuaskan diri sendiri pada akhirnya menjadi kegiatan yang nyaris dilarang dan ditolak masuk industri penerbitan.
Pada akhirnya, para penulis tak lain hanyalah boneka atau robot dengan remote kontrol. Di mana yang memegang kontrol diri mereka adalah pembaca, penerbit, masyarakat, pemerintah, dan ketakutan-ketakutan. Agar-agar buku-buku habis dibeli orang-orang. Para penulis rela menjadi badut. Binatang suruhan dan sekedar tak jauh beda dari hewan peliharaan. Perasaan, pikiran-pikiran aneh, dan dorongan gelap yang merusak penjualan dan membuat pembaca marah, harus ditekan. Kita tak ubahnya hanyalah patung. Dipamerkan ke sana kemari dan layaknya bukan manusia.
Penulis pun tak lagi menjadi manusia. Atau berusaha dihentikan menjadi manusia. Perasaan, pikiran, dan jiwa mereka ditekan dan dihancurkan untuk kepuasaan pembaca dan publik luas. Mereka rela membuang diri mereka sendiri. Dan harus belajar menjadi aktor dan seniman panggung. Pada akhirnya, seseorang yang sadar diri dengan situasi semacam ini, akan mulai merasakan ketidaknyamanan dan kegairahan yang semakin memudar. Karena para pembaca, menghancurkan lebih banyak bakat, orang hebat, dan jenius dari pada mereka yang bukan pembaca.
Para pembaca seringkali adalah diktator yang tak lebih dari pada kaum fasis yang berganti baju dengan mengatasnamakan kecintaan akan buku. Topeng berisik yang sangat kentara bagi orang yang memahaminya.
Untukku sendiri, menulis sudah tak lagi menjadi hal yang bisa membuatku nyaman dan berbahagia. Saat tulisan-tulisanku hanyalan angin lalu, tak bersuara, diabaikan, tak dianggap keberadaannya, dan tak mampu menjangkau hati seseorang. Dan jika menulis tak membuat orang-orang mau menerimaku dan mendengarkan seluruh kisahku. Lalu untuk siapa lagi aku menulis? Dan untuk apa?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...