Cobalah mari kita berpikir mengenai kehidupan kita semenjak kecil. Sejak kecil kita ditaruh di taman kanak-kanak. Lalu terjerumus pada sekolah, yang setiap hari diwajibkan masuk, persis layaknya karyawan yang hanya bisa cuti beberapa hari saja dalam setahun. Kadang aku berpikir, sekolah dan kerja di bank atau buruh dalam artian luasnya, bedanya apa?
Berangkat pagi. Pulang siang hingga sore. Lalu mengikuti berbagai macam kegiataan lagi. Dari kegiatan keagamaan atau mungkin beragam les yang melelahkan. Kita pun ditekan oleh beragam sistem pendidikan yang serba mengekang. Guru yang diktator atau sesuka hatinya sendiri. Apa bedanya dengan bos sebuah perusahaan atau tempat kita bekerja, yang tidak boleh melakukan ini dan itu, harus patuh agar tidak dikeluarkan dari tempat kerja? Tidakkah sekolah juga mensyaratkan kepatuhan luar biasa, agar kita juga tidak dikeluarkan secara paksa bukan? Para karyawan atau buruh kerja, juga melakukan hal yang sama. Pergi kerja pagi hari dan pulang sore hari atau sore/malam hingga pagi hari. Tak boleh banyak mengeluh. Tak boleh macam-macam. Tak boleh sedikit mengkritik atau menentang.
Lalu, setelah melewati masa sekolah yang mirip dunia kerja, yaitu berangkat dan pulang sore dengan segala aturannya yang susah untuk dibantah. Kita, umat manusia, terjerumus kembali ke dunia perkuliahan, yang lamanya bisa sampai antara 4 hingga 10 tahun lebih, untuk melakukan pengulangan-pengulangan yang sama. Kehadiran 75 persen. Tidak boleh terlambat masuk. Tidak boleh terlalu banyak membantah dan mengkritik. Harus rela menunggu dosen yang terlambat atau diam membisu tak berdaya di saat para dosen tak masuk atau malah sekedar menyuruh kita mengerjakan soal-soal. Harus diam layaknya robot agar nilai baik dan ujian skripsi tidak diundur bahkan ditolak. Seolah-olah dunia pendidikan kita bagaikan kerja paksa di mana kita yang membayar uang sekolah dan kuliah. Tapi kita dinilai dan dihargai layaknya pekerja pabrik. Kita yang membayar pendidikan kita. Tapi mereka yang menentukan kehidupan kita di kelas? Tidakkah ini lucu?
Para pekerja pabrik harus terus masuk agar mendapatkan gaji. Manusia yang sedang berpendidikan, terus-menerus menyetor uang hanya untuk diatur dan melihat sendiri, bahwa, dosen-dosen yang mereka bayar, perilakunya layaknya bos di tempat kerja orang tua atau saudara-saudara kita. Sistem pendidikan layaknya perusahaan besar yang menentukan keluar masuknya mahasiswa. Memecat mereka dengan DO atau ancaman-ancaman. Padahal kita membayar pendidikan kita sendiri tapi kita sangat tidak dihargai dengan kekuasaan yang begitu kecil sehingga sekedar membantah saja, nilai kita bisa terhapus. Telat membayar uang sekolah dan kuliah saja, kita bisa dicoret dari daftar siswa atau mahasiswa. Kita berangkat dan menunggu berjam-jam. Tak mendapatkan uang. Malah membayar mahal. Tapi perlakuan yang diberikan dunia pendidikan, terkadang lebih buruk dari pada para petani yang sekali kerja langsung mendapatkan uang. Atau bahkan lebih dulu mendapatkan uang di muka. Anehkan?
Seorang buruh bangunan bisa mendapatkan 2-5 juta dalam sebulan kerja. Para peniliti LIPI hanya sampai di abtara 5-6 juta. Pengemis dan pemulung bahkan terkadang lebih bak dari pada gaji semacam itu. Dan mungkin lulusan universitas terbaik di Indonesia, di awal-awal kerja, baru menikmati uang 500 ribu sampai 2 juta rupiah sebulan. Dan gaji 5 juta perbulan, sudah merasa luar biasa. Padahal pedagang yang tak bersekolah tinggi, bisa mendapatkan gaji di atas 5-10 juta perbulan dengan menjadi bos di atas orang lain. Penyair yang berpendidikan universitas kesusahan membeli mobil dan rumah kecuali dia harus menjadi penjilat dan tunduk sepanjang usia hidupnya. Seorang anak desa, bisa mendapatkan mobil dan rumah bagus, di usianya yang belum genap 30 tahun. Tidakkah dunia kita semakin aneh?
Selama kita sekolah, tak ubahnya kita sedang berlatih bekerja tanpa upah. Berlatih bekerja dengan membayar mahal segala sesuatu. Sekolah bagaikan sekedar percobaan bekerja. Sekolah dan bekerja di pabrik, memiliki kemiripan. Berangkat pagi pulang sore. Tidak boleh aneh-aneh dan membantah. Menyelesaikan pekerjaan dengan benar tanpa banyak protes. Apa bedanya? Konyol atau memang sangat konyol?
KAMU SEDANG MEMBACA
ESAI-ESAI KESEHARIAN
Randomaku ingin berbicara tentang keseharian kita sebagai manusia. saat aku melihat sesuatu, sebuah peristiwa, keganjilan, perasaan resah, perpolitikan, omong kosong hidup, hal-hal sepele yang mengganjal di hati, seni yang aku masuki, dunia puisi, sastra...