KETIDAKDEWASAAN INTELEKTUAL

321 7 0
                                    

Saat dalam ranah intelektual, entah berupa diskusi atau perdebatan ringan maupun berat, kau mendapatkan perdebatan itu sedikit agak kejam dalam argumen, meminta pembuktiaan hingga sedalam-dalamnya, sesungguhnya adalah hal yang sangat wajar. Terlebih jika lawan bicara berani berlaku jujur atas ketidaktahuan dirinya dan saat kita berani mengakui kelemahan diri sendiri, suatu hal yang bagus bagi perkembangan ilmu pengetahuan sekaligus bentuk kedewasaan dalam berpikir dan menerima diri sendiri.

Dalam ranah intelektual, terlebih saat berdiskusi atau berdebat, sangat wajar seseorang meragukan argumen dan pengetahuan lawan bicaranya. Maka saat menghadapi seorang yang cukup skeptis dengan kemampuan kita. Tunjukkanlah apa yang kau tahu dan mampu. Bahwa kau benar-benar tahu, bisa, dan memahami bidang, fokus, tema, dan isu yang tengah dibicarakan. Jika tidak, akui saja jika dirimu memang tak menguasainya.

Tapi bagaimana jika baru mulai berdebat saja, lawan bicara langsung menggunakan kata-kata rasis, memaki-maki, dan merendahkanmu dengan sekuat tenaga? Dan saat kau tengah memburu argumen terbaik darinya, terus memburunya, yang dia lakukan hanya memaki-makimu, merendahkanmu, dan bersikap berang, marah, dan sok menang sendiri? Terlebih saat kau sudah berlaku lunak, mengalah, atau mencoba memecah kekakuan dan amarah dengan bercanda. Maka lebih baik kau berlalu saja. Karena lawan bicaramu dalam kondisi yang tak terlalu waras. Atau pilihan lainnya, terus buru dia, sampai dia mengeluarkan semua kelemahannya, melupakan inti dari perdebatan atau diskusi. Yang dia lakukan hanya cenderung menghindar dan saat kalah berargumen, yang dia lakukan hanyalah memaki-maki atau terus menghindar. Sebentuk sikap kekanak-kanakkan. Dan akhirnya kau sudah cukup tahu akan karakter dan watak dari orang itu.

Jika pada akhirnya konflik tak terselesaikan saat berada di ruang kecil, yang hanya terdapat kalian berdua. Jika lawan bicaramu tak mau meminta maaf dan masih terus memburumu. Tarik dia ke ranah publik yang lebih luas, agar banyak pikiran dan mata yang menilai dan melihat. Dan jika di dunia publik luas, lawan bicaramu ternyata tak kunjung berubah juga. Maka ada beberapa kemungkinan. Dia berjiwa anak kecil, tahapan emosi dan kepribadiannya masih dalam jiwa anak remaja sehingga mudah berang dan tersakiti, mengidap gangguan jiwa parah atau untuk tujuan tertentu (pencitraan, politik, menghancurkamu dan lain sebagainya). Kedua, dia memang buruk secara intelektual dan mencoba menutupi ketidakmampuannya. Atau lebih tepatnya pengecut. Ketiga, dia bermuka tembok dan nyaris tak memiliki malu sama sekali. Keempat, dia memang tipe manusia yang memang buruk.

Dan seandainya kau tipe manusia yang cukup sadar diri, dalam artian memiliki kejiwaan tak stabil, tak terlalu bijak, mudah marah, dan wawasan dan pengetahuan minim atau terlalu takut jika kebodohan dan ketidaktahuanmu terungkap dengan mudah dan cepat. Yang pada akhirnya akan menjadikan bumerang dan membuat malu dirimu sendiri. Maka hindarilah tiga tipe orang ini. Mereka adalah lawan yang salah untuk kau ajak berdebat di muka umum atau publik luas yang secara keilmuan dan penilaian cukup adil dan bebas. Mereka yang aku maksud adalah para pemikir bebas, liberalis, dan yang paling berbahaya, sebisa mungkin kamu jauhi, adalah seorang nihilis (harusnya ditulis nihilis saja. tapi kesannya lebih enak 'seorang nihilis'). Dalam sebuah perdebatan terbuka, orang terakhir layaknya monster. Maka, musuh dia harus setara dengan dirinya. Kalau tidak, kau hanya akan mempermalukan dirimu sendiri pada akhirnya.

Tiga orang bertipe itu punya pemikiran dan sudut pandang yang sangat lentur. Mereka tak banyak terikat dengan gagasan, ideologi, agama, dan norma-norma tertentu. Bagi mereka semua mungkin, bisa diambil atau dihindari. Bisa buruk atau baik. Tergantung bagaimana mereka membicarakan dan menempatkannya. Itulah sebabnya, mereka bisa membicarakan apa pun tanpa terikat dengan banyak hal, tak membuat mereka harus mempertahankan sesuatu seperti kebenaran sejati dan sebagainya.

Beda halnya dengan penganut agama baik moderat maupun fanatik. Pembela negara atau masyarakat. Pembela ideologi dan nilai-nilai tertentu. Orang-orang dalam lingkup ini sudah membatasi dirinya sendiri akan arti kebenaran, kebaikan, kemanusiaan, dan lain sebagainya. Maka biasanya, orang yang mencoba mempertahankan kebaikan Tuhan dan agama. Akan mudah diserang oleh mereka yang menunjukkan secara logika maupun fakta, bahwa agama dan Tuhan bermasalah atau tak sesuai dengan apa yang didengungkan. Jika kamu tetap membela agamamu mati-matian tanpa mengindahkan fakta-fakta yang ditunjukkan padamu. Maka, sama saja kamu tengah bunuh diri di lingkup intelektual. Atau jika kamu mencoba menerima fakta-fakta itu dan mengakuinya, maka kau juga telah kalah. Kau mengakui bahwa Tuhan dan agamamu melakukan segala hal yang dituduhkan lawan bicaramu itu. Itulah sebabnya, dalam ranah intelektual serius, memegang keyakinan bahwa ada agama yang lebih benar, Tuhan yang lebih baik, dan ideal-ideal besar lainnya yang berujung pada moralitas dan nilai-nilai. Pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang sangat sulit dipertahankan dari kritik dan pertanyaan-pertanyaan.

ESAI-ESAI KESEHARIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang