01.EINS

1.7K 240 628
                                    

Plak

Telapak tangan Rei berhasil menyapa indah permukaan kulit pucat anaknya, Luna.

"Apa-apaan ini, Luna?! Kenapa kamu mendapatkan nilai sempurna?!"

Sebuah teriakan menggema di ruangan kerja berinterior mewah namun bernuansa dark, sedangkan sosok gadis berparas manis yang mempunyai rambut sebahu itu hanya dapat berdiri kaku seraya mengepalkan tangannya erat, hingga tanpa terasa tetes demi tetes darah mulai mengalir lewat kepalan tangannya.

Luna benci ditindas, Luna ingin memberontak, tapi gadis itu sadar bahwa jika ia memilih untuk melawan, maka ia akan kehilangan segalanya.

Seluruh hidup Luna bergantung kepada Rei.

Sret

Gadis itu meringis dengan air mata tertahan di sudut matanya ketika tangan sang Papa kembali berulah, kini tangan itu beralih ke rambutnya, menjambaknya kuat hingga menimbulkan rasa pening yang membuat pandangan Luna seketika kabur.

Tidak, ia tidak boleh menyerah.

Luna itu kuat. Selalu.

"Sudah berapa kali saya bilang, jangan pernah mendapatkan nilai diatas 50! Apakah kamu tidak kasihan dengan saudaramu?! Rachel selalu berusaha semaksimal mungkin untuk berada diatasmu, Luna! Tapi kenapa kamu selalu menghancurkan kerja kerasnya?!"

Sakit.

Ini jelas bukan salahnya jika ia lebih unggul di bidang akademik dibanding saudara kembarnya, Rachel.

Tapi tetap saja, Luna akan selalu dipandang salah. Sekalipun ia harus menangis darah, Luna akan tetap selalu salah.

Rachel, si anak kesayangan kedua orang tuanya. Rachel harus selalu tampak sempurna, baik itu dalam hal pelajaran, fisik, ataupun prestasi di non akademik. Karena gadis itu selalu dibawa ke acara perusahaan dan dikenalkan kepada kolega-kolega Rei.

Jika dilihat secara fisik, Rachel jelas lebih unggul dibanding adiknya yang lahir hanya berselisih beberapa menit setelahnya itu.

Rachel bak Barbie hidup dengan style yang selalu up to date, sedangkan Luna sebaliknya. Sejujurnya, Luna juga tidak kalah cantik. Hanya saja, Luna selalu tampil apa adanya tanpa olesan make up barang sedikitpun.

Luna terlalu malas untuk itu.

Menarik perhatian banyak lelaki, menjadi sorotan masyarakat. Luna risih.

"KAMU PAHAM ATAU TIDAK?! DASAR ANAK TIDAK BERGUNA!"

Brak

"Aw ..." Rintih Luna kesakitan setelah tubuhnya di dorong cukup kuat hingga menghantam meja kerja Rei.

"LUNA! SAYA SEDANG BERTANYA KEPADAMU!"

Lagi-lagi, teriakan itu.

Tidak bisakah Rei bersikap lemah lembut kepadanya barang sekali saja?

"IYA LUNA NGERTI, LUNA NGGAK AKAN LAGI DAPETIN NILAI TINGGI DEMI RACHEL. PAPA PUAS?!" Mata hazel itu kini menatap tajam seorang lelaki yang sedang berkacak pinggang di depannya.

Rei mendengus, hingga akhirnya melahirkan sebuah tawa yang cukup membuat Luna semakin muak berada di ruangan itu lebih lama.

"Great! Memang itu yang sudah seharusnya kamu lakukan dari dulu. Karena sampai kapanpun, kamu tidak akan pernah bisa menggantikan Rachel, baik itu di dalam keluarga ini maupun di luar."

Rei berbalik badan, tak sudi melihat anaknya yang masih terduduk bersandar di meja kerjanya. Rei benar-benar membenci anak itu, jangankan untuk melihat wajahnya lebih lama, mendengar namanya saja Rei rasanya ingin memuntahkan makanan yang telah ia makan.

Seraya menyesap teh hangat yang sudah mulai dingin, Rei berkata, "Pergilah sekarang dari ruang kerja saya, saya sudah ingin muntah karena terlalu lama berbagi udara yang sama di ruangan ini bersamamu."

Mendengar ucapan menyakitkan dari sang Papa, Luna merasakan sebuah belati mulai menghujam keras jantungnya hingga membuat Luna tak bisa bernafas dengan baik.

Ia sudah sering mendengarkan kalimat menyakitkan dari orang-orang sekitar. Tapi, ketika kalimat itu terlontar dari seseorang yang masih mempunyai ikatan darah dengannya, tentu rasanya berkali lipat lebih sakit.

Dengan gerakan pelan serta tertatih, Luna berdiri dan melangkahkan kaki menuju pintu.

Namun, sebelum ia memegang knop pintu, Luna berbalik badan lalu menatap punggung kokoh Rei yang saat ini sedang membelakanginya, sibuk mengetikkan sesuatu di ponsel atau kegiatan itu hanya sebagai bentuk pengalihan sementara.

"Apa Papa tahu? Roda akan selalu berputar, Pa. So, be careful," ucapnya seraya menyunggingkan senyuman miring.

To be continue

HOLA, PEEPS!😗
Gimana part 1 nya? Bosen? Garing? Mohon kritik dan saran yang mendukung, ya!❤

Sebenernya aku masih kurang pede, sih. Berhubung aku lolos lomba novel, alhasil brojol lah novel ini ke permukaan Wattpad hahahaha

Fyi, judulnya aku pake bahasa Jerman dari angka 1 dst yaa bagi yang belum tau ehehe~

Jangan lupa tekan bintang pojok kiri bawah, Peeps~ SAMPAI JUMPA DI PART SELANJUTNYAAA!

With love,
Nita❤

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang