38.ACHTUNDDREIßIG

337 48 97
                                    

Memori itu layaknya sebuah kaset rusak.
Ia akan terus menerus memutar,
tanpa peduli sebesar apa usahamu dalam menghentikannya.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Masih di tempat yang sama, sepasang sahabat itu duduk berhadapan satu sama lain dengan kesibukan yang berbeda.

El sibuk memandang pemandangan gadis manis di depannya. Sedangkan yang dipandang justru membuang muka dengan raut datar.

"Ngambeknya mau sampai kapan, hm?" El bertanya untuk ke dua kalinya, tatapan teduh itu menghunus manik Luna yang sedang berpendar ke segala arah, mencoba menghindar.

"Siapa yang ngambek, sih?" kilah Luna tidak santai. Kalimat yang ia lontarkan sangat berbanding terbalik dengan gestur tubuh serta raut wajahnya.

El terkekeh, menampakkan kedua lesung pipinya yang cukup dalam. Tangan kanan laki-laki itu mendekat, menepuk pipi Luna dengan lembut. "Lo tahu, enggak? Kalau cemberut bisa membakar kalori lebih cepat dibandingkan tersenyum," jelas El.

"Karena pipi gembul lo ini enggak boleh hilang ..." Ibu jari El mengusap pipi Luna dengan gemas. "Lo harus lebih banyak tersenyum."

Kedua tangan El berada di dua sisi wajah Luna, lalu menarik kedua sudut bibir Luna agar membentuk sebuah senyuman. "Nah, kayak gini. Cantik," tutur El seraya melebarkan senyuman.

Jangan tanyakan bagaimana detak jantung Luna saat ini. Bahkan dirinya takut jikalau laki-laki itu bisa mendengar dentuman keras yang berada dalam rongga tubuhnya.

El melepaskan pegangan pada wajah Luna kemudian melipat kedua tangannya di depan dada seraya bersandar disertai netra yang masih terfokus melihat objek di depannya, senyuman khas juga turut menghiasi wajah tampannya.

Luna berdeham canggung sambil memegang kedua pipinya yang terasa panas. "Apa, sih," elak gadis itu pelan, mencoba mengalihkan rasa malu dengan cara menampakkan amarah yang palsu.

~

Brak

"AYAH!" Seorang gadis berperawakan tomboy mendobrak pintu utama dengan raut khawatir yang kentara.

Netranya bergetar seraya mencari keberadaan ayahnya di tiap sudut ruangan yang kecil itu.

Kekhawatirannya semakin menjadi saat melihat keadaan rumahnya yang berantakan. Vas bunga yang pecah, serta berbagai macam barang berserakan di lantai.

Kakinya melangkah tergesa menuju sebuah kamar yang berada di ujung ruangan lalu membuka pintu bercat putih itu dengan kasar.

"Ayah?" lirih gadis itu saat melihat ayahnya sedang terbaring dengan posisi membelakangi dirinya.

Langkah kakinya cepat ingin segera mendekat ke kasur.

Setelah sampai, ia turut merebahkan diri di samping ayahnya kemudian memeluk pria yang berpakaian lusuh itu dengan erat.

"Ternyata Ayah ada di sini, Acha khawatir Ayah kenapa-napa," ucap Acha seraya tersedu.

Seorang pria yang ia panggil Ayah itu kini berbalik menghadap dirinya. Tatapan mata pria itu sendu saat menatap putri tunggalnya yang sedang terisak pelan. Dengan tangan gemetar, ia mengusap air mata Acha dengan lembut kemudian menggerakkan jarinya untuk memakai bahasa isyarat.

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang