61.EINUNDSECHZIG

217 24 26
                                    

Hidup memang tidak pernah menjadi mudah,
sehingga rasanya ingin menyerah.
Tapi, kau tak boleh kalah.
Tetaplah melangkah walau atmamu sudah lelah.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Kenapa waktu cepat sekali berlalu?

Padahal baru saja Luna merasakan betisnya berdenyut sakit karena berjalan cukup jauh dari danau menuju ke rumahnya.

Walaupun letak danau tersebut masih satu wilayah dengan tempat tinggalnya, tetap saja jika dilalui dengan berjalan kaki akan membuat kaki menjadi pegal.

Sekarang hari sudah berganti menjadi Senin. Sebuah hari yang cukup melelahkan bagi murid.

Luna memasang seragamnya dengan cepat sembari mematut diri di cermin, tatapan gadis itu tampak hampa. Semenjak perdebatannya dengan sang kakak kemarin, ia dan Rachel tidak pernah lagi bertegur sapa.

Setiap bertemu, Rachel selalu lebih dulu menghindar.

Hal itu membuat luka di batinnya bertambah dalam. Karena tidak ada luka yang lebih menyakitkan dari hancurnya sebuah keluarga, bukan?

Luna tersenyum miris.

Lagi-lagi bahagia tidak berpihak pada dirinya. Luna sudah terbiasa dengan itu, walau tetap saja terasa menyakitkan.

Ia mendekati pantulan diri di cermin, jemari lentik itu terulur untuk menelusuri pantulan wajahnya yang berada di cermin. "Bahagia yang sejati itu ... kayak gimana rasanya, ya?"

Jemari Luna berhenti pada letak kantung mata yang semakin menghitam.

"Gue juga berhak bahagia. Tapi, kenapa susah banget?

~

Di sisi lain, Rachel yang sudah rapi dengan seragam serta tasnya sedang menuruni tangga dengan kalem. Ekspresinya sama sekali tidak menunjukkan bahwa gadis itu tengah dirundung pilu, sebab, kini kedua sudut bibir Rachel merekah sempurna membentuk sebuah senyuman manis.

Rachel tetaplah Rachel. Ia tidak akan membiarkan orang lain mengetahui bahwa dirinya sedang hancur.

Berpura-pura bahagia seperti biasa adalah jalan yang selalu ia tempuh.

"Morning, Papa." Gadis itu menyapa seorang pria paruh baya yang sedang duduk anteng di ruang makan.

Sedangkan yang disapa hanya menatap datar anaknya seraya mengangguk pelan. "Sarapan dulu. Papa ada buat sandwich untuk kita berdua."

Berdua.

Ekspresi sumringah Rachel sedikit meredup mengingat betapa sulitnya hidup Luna yang berada di tengah-tengah orang toxic.

Tangan Rachel bergerak menarik kursi. Setelahnya, ia duduk di sana dalam diam sembari mengambil sepotong sandwich yang terlihat enak lalu perlahan memasukkannya ke dalam mulut.

Pergerakan Rachel tak luput dari perhatian Rei. "Gimana rasanya?"

Bola mata gadis itu bergulir untuk menyorot sang papa.

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang