32.ZWEIUNDDREIßIG

392 55 146
                                    

Aku ingin menjadi udara,
Yang menyatu dalam aliran darah serta denyut nadimu.
Lalu hidup di sana, semauku.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

"Lo bisa gunain kamar gue, di sana udah lengkap ada kamar mandi juga," jelas Bryan seraya menunjuk sebuah pintu bercat hitam dengan tulisan 'Don't come' di tengah-tengahnya.

Luna mengangguk pelan menanggapi penjelasan Bryan. Sejujurnya Luna masih ragu untuk menginap di apartemen laki-laki itu, tapi apa boleh buat? Luna terlalu takut untuk pulang ke rumah dan tinggal berdua dengan papanya di sana.

Bryan melirik Luna di sampingnya yang sedang mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru apartemen. Dengan gestur tegap namun santai, Bryan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.

"Mandi dulu sana. Habis itu baru gue yang mandi," perintah Bryan membuyarkan lamunan Luna.

Gadis itu menolehkan kepalanya menatap Bryan dengan sedikit mendongak karena tingginya hanya sekitar bahu Bryan. "Lo aja duluan. Lo mau balapan, 'kan, sehabis ini?"

Bryan tersungging menampilkan senyuman manis yang hanya ditunjukkan kepada Luna dan orang tuanya. Lagi-lagi tangan kanan Bryan mengusap rambut Luna yang membuat si empunya mencebik kesal.

"Lo aja dulu." Bryan melihat jam tangannya sebentar. "Masih ada sisa waktu satu jam lagi, kok."

Luna kembali mengangguk jengah. Kalau berdebat dengan Bryan tidak akan ada habisnya.

Lebih baik Luna mengalah saja.

Akhirnya Luna melangkahkan kakinya dengan gontai menuju kamar Bryan. Tapi, sebelum tangan itu membuka pintu, Luna sedikit berbalik ke belakang.

"Bry, nanti gue pakai baju siapa, dong?"

"Tenang aja kalau masalah baju. Gue udah minta tolong Mama buat beliin lo baju, dan sekarang paketnya lagi otw," urai Bryan seraya mendudukkan dirinya di kursi bar dekat dapur dan menuangkan minuman untuk dirinya.

Air muka Luna seketika berubah menjadi keruh. "Heh! Gue yang enggak enak sama nyokap lo, tahu!"

Bryan mendelik ke arah Luna sebentar sebelum meneguk minuman hangatnya. "Dih? Berasa kayak orang baru aja lo. Justru tadi Mama excited banget dan pengen segera ketemu sama anak cewek kesayangannya," sindir Bryan halus sambil kembali menuang air ke dalam gelas, Bryan butuh minuman yang hangat karena tadi ia sudah cukup lama hujan-hujanan bersama Luna.

Luna memelintir ujung jaketnya. "Seriusan nyokap lo mau ketemu sama gue?"

Bryan mengangguk mantap. "Iya. Mama sama Papa kangen banget sama lo. Mereka juga nanya mulu kenapa semenjak gue pindah ke Jepang, lo jadi enggak pernah nemuin mereka lagi."

Netra hazel Luna menatap sepatu Bryan yang tersusun rapi di atas rak. Perasaannya menjadi menghangat karena tahu bahwa kedua orang tua Bryan yang sudah ia anggap seperti keluarga sendiri itu tidak pernah melupakannya walau mereka sudah lost contact.

"Setiap Mama dan Papa nyoba ke rumah lo, Om Rei selalu bilang kalau lo lagi enggak ada di rumah," desis laki-laki itu kesal, memegang gelas kaca itu dengan sedikit kuat. "Padahal gue tahu, kalau lo enggak mungkin sering keluyuran kayak yang Papa lo bilang."

Luna tersenyum miris. "Gue jadi enggak enak sama nyokap bokap lo."

Bryan menatap Luna yang sedang termenung. "Bukan salah lo, kok," tutur Bryan seraya turun dari kursi dan melangkahkan kakinya mendekati Luna.

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang