41.EINUNDVIERZIG

341 46 99
                                    

Mengapa harus melakukan angkara,
hanya untuk menutupi luka yang menganga?
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Acha melajukan motornya menyusuri jalan sedikit berlobang dengan mulut yang tak berhenti berkomat-kamit.

Tidak. Gadis itu bukanlah jelmaan seorang dukun atau semacamnya.

Melainkan dia hanya kesal kenapa harus bertemu dengan makhluk keras kepala dan angkuh seperti Evan.

Kembalinya sang Ibu beberapa tahun yang lalu saja sudah membuat kepala Acha ingin pecah saking pusingnya. Apalagi jika ditambah dengan kehadiran Evan yang bernotabene sebagai anak tiri Henny?

Acha ingat jelas teriakan seorang lelaki menyebalkan yang menggema di parkiran saat itu.

"Ingat! Saya akan mencari tahu tentang keberadaan kamu dan kamu tidak akan bisa merasakan ketenangan sedikit pun sebelum saya tahu fakta yang sebenarnya terjadi, Acha!"

Mendengkus kasar, Acha menggenggam stang motor lebih erat. "Kenapa, sih, masalah di hidup gue enggak pernah selesai?! Belum juga kelar masalah si Henny, sekarang udah nongol aja biang masalah baru!" omelnya tanpa berhenti.

Napas gadis itu memburu. Sekelibat bayangan wajah tampan namun menyebalkan milik Evan semakin tergambar jelas di benaknya dan hal itu cukup membuat Acha naik pitam.

"Ya ampun! Kalau aja tadi bukan di area kantor, mungkin udah gue bikin babak belur itu muka sok kecakepannya!" lanjut Acha, lagi.

Entahlah. Padahal jika dilihat dari penyebab utama insiden tadi, seharusnya Evan yang marah karena Acha melempari lelaki itu sebuah helm dari jarak lumayan dekat.

Tapi sekarang malah dia yang naik pitam oleh ulahnya sendiri.

Dasar Acha.

~

"Setelah ini selesai gue pulang dulu, ya?" Luna membereskan peralatan dapur untuk membuat bubur yang sudah ia cuci. Dengan hati-hati ia menaruh panci beserta kerabatnya ke rak.

Si laki-laki berkacamata hanya diam tak bersuara. Sambil duduk santai di meja makan, ia bergelut dengan pikiran.

El ingin Luna lebih lama di sini.

Tapi, dirinya tidak boleh egois. Luna juga punya kehidupan pribadi yang tidak ada El di dalamnya.

Alhasil, laki-laki itu hanya mencebik seraya memangku dagu dengan tangan kiri diikuti tangan kanan yang mengetuk-ngetuk meja makan.

Ketika sudah selesai dengan kesibukan yang ia lakukan, Luna berbalik badan. Kini tampak raut bingung yang mengukir wajahnya. "Kenapa diem aja?" Kaki jenjang ia gerakkan, melangkah mendekat.

El mendongak untuk menatap Luna yang lebih tinggi dari dirinya karena gadis itu masih setia berdiri. "Enggak apa-apa. Lo mau pulang, 'kan? Ayo, gue anterin." Ia beranjak dari duduk.

Luna merespon tawaran El dengan gelengan kepala. "Jangan! Lo masih sakit! Biar gue jalan kaki aja."

Giliran El yang mengernyit hingga dahinya bergelombang. "Lo enggak bawa sepeda? Tumben?"

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang