Self love itu tidak hanya tentang menjalankan hidup dengan penuh percaya diri.
Bisa juga dikatakan self love ketika kamu berani keluar dari zona toxic yang membuatmu tertekan.
-Evanescence-HAPPY READING, PEEPS!
~
"Makasih buat tumpangannya, Brader!" Luna melambaikan tangan kanannya saat El mulai memutarkan sepedanya ke arah jalan pulang.
El menoleh sambil menyengir. "Sama-sama, Sistah! Bye!" Setelah membalas lambaian Luna, laki-laki itu kembali fokus ke sepeda dan menjalankannya.
"Bye!"
~
Luna melangkah santai memasuki perkarangan rumahnya seraya menggenggam erat tali tas yang berada di kedua pundaknya.
Setelah sampai di depan pintu rumah, Luna melepaskan sepatu lalu menaruhnya di rak.
Kemudian, gadis itu menutup pintu dan masuk ke rumahnya yang sedikit gelap.
Alis Luna menyatu ditambah dengan ekspresi wajahnya yang kebingungan. Entah kenapa rumah megah itu terasa sangat sunyi.
Walaupun memang jarang ada yang berisik karena mereka hanya tinggal berempat, biasanya setiap jam pulang sekolah akan selalu ada bunyi tv yang dinyalakan atau tercium bau kue kering karena mamanya selalu suka membuat kue terutama cookies.
Tapi hari ini berbeda dari hari-hari biasa. Hal itu membuat Luna sedikit heran dan curiga.
Ke mana perginya orang-orang?
Langkah Luna melebar, mempercepat jalannya agar segera sampai ke kamar karena Luna lumayan takut dengan hal-hal berbau horor. Suasana rumahnya saat ini sangat mendukung pikiran Luna menjadi traveling akan film-film hantu yang pernah ia tonton.
Di sisi lain, ada sepasang suami istri sedang saling berteriak satu sama lain di lorong rumah sakit, seperti tak acuh dengan orang-orang yang memandang, mereka terus bertengkar seraya menunjuk-nunjuk.
"Kamu memang Mama yang buruk, Agatha! Bagaimana bisa kamu tidak ada di saat Rachel ingin mencoba bunuh diri?!" Teriakan Rei menggema di lorong rumah sakit sehingga membuat orang lain di sekitarnya menjadi terusik.
Agatha yang nampak tidak ingin disalahkan terlihat naik pitam dengan wajah yang memerah padam karena kesal. "Rei! Harusnya kamu yang lebih peka terhadap kondisi anakmu! Kamu pikir, siapa yang menyebabkan Rachel bisa berpikiran untuk bunuh diri kalau bukan karena kamu yang selalu menekan dia?!"
Kedua alis Rei terangkat seraya tersungging sinis, kemudian pria itu berdecih sambil mengambil langkah untuk sedikit mendekat. "Jadi, sekarang kamu berani menyalahkan aku dibanding bersujud di kakiku?" kekeh Rei. Raut wajahnya yang meremehkan Agatha sangat kentara.
Agatha membelalak tidak percaya. "Bersujud di kakimu?!" tanya Agatha sedikit tertohok. "Apa kamu gila? Aku istrimu, Rei! Kenapa kamu selalu menganggapku rendah seperti itu, hah?! Aku sudah mengikuti apa yang kamu mau, menjadi istri yang serba bisa seperti yang kamu pinta. Kenapa ... kenapa masih saja kamu tidak bisa mengubah pandanganmu terhadapku?!"
Lagi-lagi Rei terkekeh sinis, matanya menyalang menatap Agatha seolah ingin merobek netra itu dengan pandangannya.
"Kamu terlalu percaya diri, Agatha. Mau sesempurna apa pun hal yang kamu lakukan sampai saat ini, tidak akan pernah bisa mengubah pandanganku bahwa kamu tidak lebih dari anak buangan dari panti asuhan yang aku nikahi karena belas kasihan," tuturnya santai sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana kantor.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescence (END)
Teen FictionBELUM DI REVISI! -UPDATE SETIAP HARI SENIN, RABU DAN SABTU- Evanescence berasal dari bahasa Jermanik yang berarti "kehilangan". Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis belia yang baru saja berusia 19 tahun bernama Luna. Dengan s...