Terkadang seseorang menolak sebuah kebenaran demi menjaga kewarasannya.
-Evanescence-HAPPY READING, PEEPS!
~
Suara ketukan sepatu di lantai marmer memenuhi ruangan bernuansa serba monokrom.
Tatapan intimidasi dari seorang pria di depan membuat sang gadis menggigil ketakutan. Kepalanya terasa berat, bahkan hanya untuk sekedar mendongak pun enggan.
Jemari lentik itu saling memilin diiringi keringat dingin perlahan keluar dari telapak tangan yang tampak gemetar.
Jantungnya berdetak kencang. Walau hanya dengan tatapan, dapat membuat dirinya tidak dapat berbuat apa pun selain mematung seraya tertunduk dalam. Menatap sepatu sekolah yang belum sempat ia lepaskan.
"Gimana rencanamu? Berhasil?"
Suara yang akhir-akhir ini menjadi satu-satunya sumber ketakutannya itu masuk ke indra pendengaran. Menjadikan adrenalin Rachel semakin terpacu.
"Itu ... rencana Papa," lirihnya nyaris tak terdengar.
Rei mendengkus. Menarik senyuman miring yang terlihat menyebalkan.
"Terserah! Yang jelas, apakah semua berjalan dengan baik?"
Rachel menarik napas dalam lalu perlahan mendongak dan membalas tatapan papanya. "Baik untuk Papa, enggak baik untuk Rachel maupun Luna," desis gadis itu.
Entah keberanian dari mana yang membuatnya dapat berbicara seperti itu. Mungkin Rachel sudah muak menjadi boneka penghancur Rei.
Rei melirik kedua tangan anaknya yang berada di masing-masing sisi kanan dan kiri. Tangan itu terkepal walau tampak gemetar hebat.
Jadi, Rachel sudah berani memberontak kepadanya?
Dalam diam Rei mencibir.
"Kamu enggak lagi berusaha jadi seperti adikmu, 'kan, Rachel?" Rei bersidekap dada sambil mengangkat dagunya angkuh. "Papa yakin kamu enggak sebodoh dia."
Rachel membuang tatapannya ke arah kanan, melihat jam dinding yang terpajang itu tanpa minat. Lebih baik memandang jam daripada harus bertatapan dengan jelmaan iblis seperti papanya.
"Oh ... kamu sekarang ingin menjadi seperti Luna, hm?" Rei mendekat selangkah sehingga Rachel kembali menolehkan kepala seraya mundur dengan perasaan was-was.
"Kamu mau melawan orang yang selama ini sudah jadi support system terbaikmu?" Ia kembali melangkah, mencoba mengintimidasi sang anak lebih dalam.
Rei benci ditentang. Cukup Luna saja yang menentangnya, jangan Rachel. Jika hal itu terjadi, Rei tidak akan bisa lagi menjalankan bisnis fashion miliknya karena selama ini bisnis itu berjalan lancar berkat hubungan harmonis antar Rei dan keluarga Bryan.
Jujur saja, Rei banyak mendapatkan ide dari pemikiran cemerlang keluarga itu.
Rachel meneguk ludahnya secara kasar. Kaki jenjang itu terus melangkah mundur hingga punggungnya membentur tembok.
"Seharusnya kamu bisa berterima kasih kepada Papa. Siapa lagi yang bisa menolong kamu selain Papa?"
Sang papa berdiri tepat di hadapannya, membuat Rachel tidak dapat berkutik sedikit pun.
"Jangan bertingkah bodoh! Kecerobohan kamu hanya akan bawa kamu ke lubang kesengsaraan!" Bentak Rei dengan wajah memerah.
Bentakan itu melahirkan bulir bening yang menggenang di pelupuk mata Rachel menjadi turun membasahi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescence (END)
Teen FictionBELUM DI REVISI! -UPDATE SETIAP HARI SENIN, RABU DAN SABTU- Evanescence berasal dari bahasa Jermanik yang berarti "kehilangan". Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis belia yang baru saja berusia 19 tahun bernama Luna. Dengan s...