60.SECHZIG

239 23 29
                                    

Terjerat pada tali kebinasaan
yang menyebabkan kehancuran,
pada mereka yang meraung mencari pertolongan
walau hanya sebatas uluran tangan.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Kalimat yang terlontar dari Rachel tak bisa berhenti berputar dalam pikirannya. Luna tidak habis pikir, padahal beberapa menit lalu mereka sudah terlihat akur.

Bukankah itu pertanda jika keduanya telah berbaikan?

Tapi, kenapa Rachel berkata seperti itu? Seolah-olah tidak menginginkan Luna merasakan kehangatan di dalam keluarga, bahkan di saat Mama mereka telah tiada.

Hatinya sakit. Lagi-lagi Luna dihancurkan oleh ekspektasinya sendiri.

Ia terkekeh. "Goblok banget. Bisa-bisanya berharap sama orang yang bahkan enggak pernah sayang sama lo, Lun."

Sepeninggal Rachel, Luna masih berdiam diri di tepi danau sambil sesekali melemparkan batu ke danau tersebut.

Entahlah, Luna merasa kembali hampa. Padahal dirinya sudah terbiasa tidak dipedulikan oleh sang kakak, tapi entah kenapa kali ini terasa lebih menyakitkan untuknya.

Mungkin karena sebelum Rachel berkata demikian, Luna sudah berharap penuh jika mereka bisa menjadi saudara yang saling menyayangi.

Miris.

Mungkin dirinya sudah kelewat batas dalam berharap, sampai-sampai harus kembali menelan rasa kecewa dari pengharapan itu sendiri.

Hari minggu yang kelabu. Walau cuaca nampak cerah, perasaan Luna tidak dapat tersamarkan.

Harus sampai kapan rasa sesak ini bersarang dalam dadanya?

Akankah semua masalah hanya akan hilang jika dirinya sudah pergi?

Lantas, apakah Luna memang tidak ditakdirkan untuk bisa merasakan bahagia di dunia yang rumit ini?

Jika memang begitu ... haruskah Luna mengakhiri hidupnya saja?

Untuk apa juga bertahan jika tidak ada kebahagiaan di dalamnya, bukan?

Mata gadis itu memejam. Berbagai pemikiran negatif menari-nari di otaknya dan itu membuat semangat Luna semakin luruh. "Aku capek, Tuhan. Capek banget."

Di kelopak mata yang terpejam itu, bulir hangat kembali menetes.

~

"APA PAPA BENERAN ENGGAK PUNYA HATI?! GIMANA BISA PAPA SETENANG ITU SAAT TAHU MAMA UDAH ENGGAK ADA?!"

Sebuah teriakan melengking menggema dalam ruangan bernuansa putih gading.

Rachel berteriak menyuarakan isi hatinya yang telah lama terpendam tepat di depan papanya.

"Tidak ada waktu untuk bersedih, Rachel. Life must go on, right? Untuk apa kita menangisi orang mati." Rei menduduki single sofa sembari menatap datar anak sulungnya.

Bahu gadis itu turun naik mencoba meredam emosinya yang semakin tersulut ketika mendengar kalimat santai dari Rei. "PAPA KEJAM! PAPA EGOIS! PAPA–"

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang