Pilihlah dia,
yang bisa membuatmu merasakan arti sebuah 'rumah' dalam bentuk manusia.
-Evanescence-HAPPY READING, PEEPS!
~
Mata Rachel fokus, telaten mengobati luka Bryan. Mereka sedang duduk di pinggir kasur dengan perasaan campur aduk.
Setelah pertengkaran hebat itu membuat Rachel maupun Bryan enggan bersuara.
Namun, keheningan yang menyelimuti sangat tidak enak bagi Bryan yang menyukai suasana heboh. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuka suara lebih dahulu. "Chel, aku—"
"Diem."
Bryan kembali mengatupkan bibir. Nada ketus dari Rachel membuat nyalinya sedikit menciut.
Daripada mereka bertengkar lagi dan berujung putus, lebih baik Bryan menurut.
"Shhh," ringis laki-laki itu ketika Rachel dengan sengaja menekan kapas pada lukanya. "Yang lembut dong, Princess."
Rachel melirik sinis sebentar, kemudian kembali menekan kapas tersebut ke luka Bryan yang menyebabkan pekikan tertahan darinya.
"Chel! Astaga ...."
"Pas udah diobatin aja sok-sokan ngerasa sakit. Tadi sewaktu lukain diri, itu ekspresi biasa aja, tuh," cibir Rachel. Fokusnya masih berada di tangan Bryan. Setelah selesai dengan obat merah, Rachel menutup luka itu memakai plester.
Bryan merenggut. Kenapa Rachel menjadi semakin galak?
"Ya ... kan tadi fokusnya ke kamu doang, jadi rasa sakit di tangan enggak kerasa."
Ekspresi sang gadis menjadi datar. Ia meletakkan tangan Bryan di atas paha laki-laki itu. "Udah selesai. Lo bisa pergi dari sini sekarang." Rachel beranjak.
Namun, untuk ke sekian kalinya Bryan menahan lengan Rachel.
"Apa lagi, sih?! Obatnya kurang?" Nada yang ia keluarkan sedikit membentak. Wajar saja, Rachel masih sakit hati dengan pengakuan Bryan.
Jadi, yang Rachel inginkan sekarang adalah bersantai menjernihkan otak tanpa harus ada Bryan di sampingnya.
"Kamu mau sendiri dulu, ya?" tanya Bryan walaupun dirinya sudah tahu betul apa jawaban Rachel.
Dilihatnya gadis itu mendengkus kemudian mengangguk pelan, Rachel membuang muka ke arah lain.
Hati Bryan terasa tercubit. Ternyata begini rasanya patah hati.
"Oke." Bryan ikut beranjak tanpa melepaskan pegangannya. "Aku kasih kamu waktu untuk sendiri. Tapi, aku tetep enggak mau putus."
Kalimat itu sama sekali tidak dapat Rachel jawab. Alhasil, dirinya lebih memilih membawa Bryan ke pintu lalu membuka pintu tersebut. "Keluar."
"Rachel, ingat! Kita enggak putus! Enggak akan pernah!" Langkah Bryan terseok karena Rachel menariknya paksa agar bisa keluar dari kamar.
Setelah berada di luar, Rachel menghela napasnya lega.
"Pokoknya, kita enggak akan pu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescence (END)
Teen FictionBELUM DI REVISI! -UPDATE SETIAP HARI SENIN, RABU DAN SABTU- Evanescence berasal dari bahasa Jermanik yang berarti "kehilangan". Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis belia yang baru saja berusia 19 tahun bernama Luna. Dengan s...