Ketika amarah lebih tinggi dibanding akal sehat,
di situ lah awal mula dari titik sebuah kehancuran.
-Evanescence-HAPPY READING, PEEPS!
~
Rei membaca lembar demi lembar sebuah berkas yang ada di tangannya. Ia menarik sebuah senyuman miring.
"Ternyata dia berbakat juga, ya, menjadi pembohong," kekehnya. Mulut itu sesekali bersenandung ria.
Tepat di depannya, seorang pria yang memakai kemeja panjang berwarna hitam serta celana berwarna senada setia berdiri sambil menundukkan kepalanya. Tidak berani menatap sang pemimpin walaupun Rei tampak senang dengan hasil kerjanya kali ini.
Dalam waktu singkat, dengan keahlian yang tergolong tingkat tinggi membuat dirinya gampang menembus berbagai akses untuk mencari informasi bersifat pribadi.
Tapi, tentu saja pekerjaan itu juga memakai bantuan orang lain. Relasi yang luas benar-benar bermanfaat untuk pekerjaannya sekarang.
Di sisi lain, Rei merasa puas dan bahagia. Melihat berbagai fakta privasi dari El membuat Rei tersenyum lebar. Ternyata, sangat mudah baginya untuk menjatuhkan anak itu.
Jika ia sudah berhasil menjatuhkan El, dipastikan Luna sudah tidak mempunyai tameng lagi. Dengan begitu, Rei tidak akan kesulitan untuk melancarkan aksi balas dendamnya yang ia pendam selama belasan tahun lamanya.
Ia kembali terkekeh, kali ini lebih nyaring.
"Tidak akan ada yang bisa mengalahkanku."
~
El merapikan rambut Luna seraya menyelipkannya ke daun telinga. Sorot khawatir tidak berhenti ia tunjukkan saat gadis itu lebih menginginkan pulang daripada menginap di tempatnya.
Saat ini mereka sudah berada di depan gerbang kediaman gadisnya, membuat El menjadi berat hati untuk meninggalkan Luna di rumah megah itu.
"Tenang aja, di sini masih ada Rachel. Gue enggak sendirian," ucap Luna berusaha menenangkan.
Walaupun begitu, tetap saja El tidak membuang sorot khawatirnya.
Bagaimana tidak? Tepat di depan matanya ia melihat seberapa kasar Rei terhadap gadis itu. Rei bisa saja membunuh Luna jika dirinya dan Bryan terlambat datang.
"Dan ... gue juga kuat, kok! Gue udah berkali-kali loh ngelawan papa!" seru gadisnya dengan semangat berkobar dan sudut bibir yang tertarik sempurna ke atas.
Merasakan El masih berdiam diri seolah tidak setuju, Luna berdecak. "El, gue itu kuat! Enggak selemah yang lo bay—"
Grep
Wajah Luna tabrakan pada dada laki-laki itu. Ia mampu merasakan bagaimana kedua tangan El yang bergerak perlahan melingkari pinggang Luna disertai bahu kirinya yang memberat karena El menjatuhkan wajahnya di sana.
Deru napas yang terasa hangat di lehernya membuat Luna sedikit bergidik geli. Namun, tak urung ia membalas pelukan tersebut dengan tangan kanan yang mengusap surai lembut El.
"Everything will be alright. Trust me," bisik Luna. Meskipun dirinya juga tidak begitu yakin apakah ia mampu atau tidak, yang jelas Luna tidak ingin membuat laki-laki itu khawatir berlebihan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescence (END)
Teen FictionBELUM DI REVISI! -UPDATE SETIAP HARI SENIN, RABU DAN SABTU- Evanescence berasal dari bahasa Jermanik yang berarti "kehilangan". Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis belia yang baru saja berusia 19 tahun bernama Luna. Dengan s...