70.SIEBZIG

247 20 4
                                    

Berhentilah berteriak untuk menyuarakan kerapuhan.
Karena sejatinya, yang tulus akan paham tanpa dirimu harus bercerita panjang lebar.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Ketika sudah berada di dalam mobil, El kembali menghadap Luna. "Mana yang sakit?" tanya laki-laki itu selembut mungkin seraya meraih kedua tangan Luna lalu mengusapnya dengan ibu jari.

Luna ikut bergerak dari posisinya untuk saling berhadapan.

"Gue enggak sengaja ..." Air matanya mulai menggenang di kelopak mata. "Gue enggak sengaja lukain Rachel waktu itu ... gue juga enggak sengaja hancurin impian papa dan nenek," adu Luna, bibirnya bergetar menahan tangis.

El menghela napasnya. Ternyata hidup Luna memang seberat itu. Dirinya seketika heran, bagaimana bisa Luna tetap berdiri kokoh selama ini?

"Gue bener-bener enggak ada niat jahat, El ..." Pertahanan gadis itu runtuh, ia kembali terisak. "Lo percaya sama gue, 'kan?"

Sorot El melembut. "Tentu. Sekali pun semua orang enggak percaya sama lo, gue bakal jadi satu-satunya orang yang tetap ada di samping lo, Luna." Tangan El beralih untuk mengusap pipi basah pacarnya.

"Lo enggak perlu takut kesepian. Selama ada gue, lo selalu ada tempat untuk pulang."

Benar.

Selagi masih ada El di sini, Luna akan baik-baik saja. Luna tidak perlu takut merasa hampa, karena El selalu ada untuk mengisi kekosongan di dalam dirinya.

Luna terdiam sejenak, lalu menghirup oksigen sebanyak mungkin kemudian menghembuskannya perlahan. Tangis gadis itu mereda.

Setelah itu, Luna menunjukkan jari kelingking kanan ke hadapan El. "Pinky promise?" Pupil hitamnya membesar disertai kedua alis yang naik.

El tersenyum hangat. Kemudian ia mengaitkan kelingking mereka. "Pinky promise, Baby Girl."

Baby Girl.

Pipi Luna menghangat, hingga dirinya mengulum senyum lalu melepaskan kaitan jari mereka seraya kembali duduk menghadap depan.

El terkekeh. Tangannya terulur untuk mengacak surai Luna, merasa gemas. "Salting, hm?"

~

Bryan jongkok di depan Rachel yang sedang duduk di pinggir kasur. Kedua tangan Rachel sangat pas berada dalam genggamannya.

Netra mereka bertemu untuk waktu yang lama.

"Aku mau minta maaf, Rachel."

Rachel menaikkan alisnya. "Minta maaf untuk apa?"

Bryan tersenyum getir. Rasa bersalahnya membesar saat melihat wajah polos Rachel.

Ke mana saja Bryan selama ini? Kenapa dirinya baru sadar bahwa Rachel hanya terpaksa melakukan hal-hal kejam tersebut.

"Untuk semuanya." Laki-laki itu tertunduk lesu. "Maafin aku ...."

Di sisi lain, Rachel merasa iba melihat Bryan yang seperti ini. Tidak pernah ia sangka bahwa Bryan mau melepas harga diri di depan dirinya.

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang