02.ZWEI

1.2K 193 617
                                    

Luna mematut dirinya di depan cermin. Rambut sebahu, bulu mata lentik, mata yang bulat, bibir ranum berwarna pink alami, kulit putih pucat.

Cantik.

Bahkan ia pikir, ia lebih cantik dari Rachel.

Dan Luna juga lebih pintar, lebih berwawasan, walaupun minus di attitude.

Ya ... Meskipun karakternya terbentuk seperti itu karena faktor keadaan, tetap saja pandangan masyarakat terhadapnya tidak akan berubah.

Selain karakter, jelas Luna lebih unggul dibanding kakaknya yang hanya bisa menghabiskan uang di mall bersama teman-temannya. Tapi, mengapa semua orang lebih memilih gadis itu dibanding dirinya? Apa bagusnya Rachel?

Rachel yang selalu dibanggakan,

Rachel yang selalu ditatap dengan penuh cinta,

Rachel yang selalu dipeluk,

Rachel yang selalu mendapat perlakuan menyenangkan dari semua orang yang mengenalnya,

Kenapa ...

Kenapa hanya Luna yang tersiksa disini?

Apa salah Luna?

Rei selalu saja memandangnya rendah, menganggapnya seperti seonggok sampah yang tidak berguna. Apa salahnya?

Padahal, kemampuan Luna jauh lebih tinggi dibandingkan kakaknya, tapi kenapa Rei harus capek-capek memaksa gadis itu untuk sempurna dibanding memilih dirinya?

Luna juga anaknya, anak kandungnya.

Tidak bisakah Rei sekali saja memandangnya sebagai anak?

Tidak bisakah sekali saja Rei memanggilnya lembut seperti saat pria itu memanggil Rachel?

Tidak bisakah Luna merasakan kedamaian di dalam rumah untuk dirinya?

Sorotan mata gadis itu menajam, alisnya menyatu serta napasnya memburu.

Luna menggeram lalu mengambil sebuah cutter kecil yang sengaja ia simpan di laci meja, Luna menatap benda tajam itu dengan penuh binar. Dengan gerakan perlahan, Luna menggoreskan cutter kecil itu pada lengannya berulang kali.

Melihat tetes demi tetes darah yang mulai bercucuran, Luna tertawa terbahak-bahak. Merasa puas dengan berbagai goresan memanjang yang ia torehkan.

Sungguh ironis, bahkan sekarang ia sudah tidak pernah merasakan sakit ketika benda tajam itu melukai lengannya. Entah karena sudah terlalu sering ia melakukan hal tersebut, atau karena rasa sakit di hatinya justru lebih besar.

Luna tidak tahu, mungkin saja keduanya.

Yang jelas Luna merasa sedikit lega dengan self harm yang dilakukannya berulang kali.

Gadis itu menyeringai, "GUE KUAT! SEMUANYA! DENGERIN GUE SEKARANG, GUE UDAH KUAT DAN KALIAN GAK BAKALAN BISA NYAKITIN GUE, IYA KALIAN! MAKHLUK-MAKHLUK LEMAH GAK BERGUNA! HAHAHA."

Luna terbahak dengan punggung yang bersandar di dinding sembari memegang perutnya yang tiba-tiba keram karena tertawa terlalu keras. Namun selang beberapa menit kemudian, seketika tawa itu berganti dengan isakan. Badannya merosot hingga terduduk di sudut kamar, Luna mulai menjambak rambutnya di kedua sisi.

Dengan air mata dan darah yang tak kunjung berhenti, Luna menjambak rambutnya dengan keras hingga menyebabkan kerontokan yang mulai berguguran di sela jari jemarinya.

Luna kesal, padahal ia sudah menggoreskan cutter di lengannya, dan Luna juga sudah menjambak rambutnya dengan sangat kuat, tapi kenapa rasa sesak itu tak kunjung pudar?

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang