Layaknya sebuah baterai pada handphone,
akan ada masanya di mana ia bisa kehabisan energi dan perlahan mati.
-Evanescence-HAPPY READING, PEEPS!
~
Rachel mondar-mandir di kamarnya sambil menggigit buku-buku jemari. Untuk beberapa waktu terkadang netra itu melirik dengan cemas jam dinding.
Gadis itu dilanda kecemasan yang berlebihan. Bahkan baju seragamnya, pun, belum sempat ia ganti.
Padahal, Rachel sudah sampai ke rumah sejak 20 menit yang lalu.
"Biasanya Papa pulang dari kantor sekitar jam 5 sore, 'kan?" lirih Rachel dengan nada sedikit berantakan. "Itu berarti Papa akan sampai ke rumah 10 menit lagi."
Tangannya mengeluarkan keringat dingin dan juga gemetaran. Dibanding ingin menangis, Rachel lebih ingin marah dan menghancurkan seisi kamarnya.
Marah akan semua hal yang sudah terjadi padanya.
Marah karena ia tidak pernah bisa berguna untuk keluarga, terutama papanya.
Marah kenapa harus selalu Luna yang menjadi saingannya dalam segala hal.
Dan juga,
Marah karena sampai saat ini Bryan ternyata masih dekat dengan Luna.
Rachel yang saat itu tanpa sengaja melihat siluet Bryan berjalan terburu-buru dari arah koridor menuju tangga rooftop langsung mengikuti langkah pacarnya secara diam-diam.
Alangkah terkejutnya Rachel saat melihat Bryan ternyata mendatangi Luna dan bahkan melakukan kontak fisik dengan saudaranya.
Hati Rachel seperti diremas saat melihat interaksi mereka. Tak butuh waktu lama, Rachel segera meninggalkan rooftop dengan raut yang tak bisa dijelaskan.
"Ternyata kamu udah pulang, Bry." Rachel terkekeh miris. Bahkan, orang yang selalu ia tunggu dan ia percaya sepenuhnya tidak memihak dirinya.
"Tapi kepulangan kamu bukan untuk aku ..." Gadis itu menahan air matanya yang hampir jatuh dengan mendongakkan kepala.
Rachel melangkahkan kakinya menuju kasur dan duduk di tepi.
Sorot matanya redup menatap ke depan. Rachel merenung tentang apa yang sudah ia lalui sejauh ini.
Kata orang, akan ada kebahagiaan sesudah kesedihan.
Tapi, Rachel sama sekali belum pernah merasakan hal itu. Kebahagiaannya tidak datang, mau selama apa pun Rachel menunggu. Bahkan, kesedihan itu sudah merenggut semua semangatnya hingga membuat Rachel kehilangan jati dirinya sebagai seorang remaja.
Di umur segini, seharusnya Rachel dipusingkan dengan berbagai tugas dari sekolah. Bukan malah berjuang untuk terus bertahan hidup di saat berbagai ujian mencoba mendorongnya agar terjatuh.
Segala macam hal menyedihkan dan menyakitkan dalam hidupnya membuat netra indah Rachel memancarkan binar bahagia.
Satu-satunya harapan Rachel adalah Bryan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Evanescence (END)
Teen FictionBELUM DI REVISI! -UPDATE SETIAP HARI SENIN, RABU DAN SABTU- Evanescence berasal dari bahasa Jermanik yang berarti "kehilangan". Novel ini mengisahkan tentang perjalanan hidup seorang gadis belia yang baru saja berusia 19 tahun bernama Luna. Dengan s...