59.NEUNUNDFÜNFZIG

207 25 30
                                    

Senyumnya tetap merekah,
walau kewarasan sudah terancam musnah.
-Evanescence-

HAPPY READING, PEEPS!

~

Beberapa hari kemudian.

Betapa hancurnya hati kakak beradik itu ketika melihat daftar nama-nama korban kecelakaan pesawat yang telah divonis meninggal.

Hati yang diremas, dinding kokoh turut runtuh selaras dengan air mata yang kini ikut berpatisipasi dalam duka mereka.

Nama mamanya masuk dalam daftar menyakitkan tersebut.

Rachel menutup mulut, merasa syok karena semenjak kejadian pesawat jatuh itu ia selalu berusaha memiliki pikiran positif bahwa sang mama masih bisa selamat. Tapi, ternyata Tuhan mempunyai kehendak lain.

Berkali-kali logikanya menolak semua fakta yang tertera di depan mata, tidak ingin percaya dengan selembar kertas putih itu.

Kaki gadis modis itu melemah lalu jatuh terduduk di lantai.

Bandara yang terlihat ramai seakan tidak mampu membuat fokusnya teralihkan.

Sedangkan Luna masih menatap nanar nama Agatha. Wajahnya terlihat datar, bertolak belakang dengan mata hazel-nya yang sudah dipenuhi oleh liquid bening.

Saat diperjalanan menuju bandara, ia mencoba untuk terus yakin bahwa mamanya selamat. Namun, semua kalimat positif yang ada di otaknya seketika hilang ketika membaca nama indah itu tertera di sana.

Kenapa harus secepat ini, Tuhan?

Tidakkah cukup semua penderitaan yang ia rasakan? Kenapa harus ditambah lagi dengan terenggutnya nyawa orang yang dirinya sayangi?

Kenapa Luna tidak pernah bisa merasakan bahagia yang kekal?

Rachel meraung memanggil nama mamanya kemudian perlahan merangkak mendekati Luna lalu memeluk kaki jenjang itu. "Bilang ke gue kalau ini semua settingan, Lun! Bilang ke gue kalau sekarang mama lagi masak di rumah! Bilang ke gue ...." Gadis itu terisak hebat, bahunya bergetar hebat sampai-sampai tidak mampu untuk melanjutkan ucapannya.

Luna melirik sang kakak. Wajar saja Rachel sehancur ini, karena sedari dulu hanya dia yang paling dekat dengan mamanya.

Walau Luna juga turut merasakan sakit, tapi ia yakin bahwa Rachel jauh lebih sakit sekarang.

Maka dari itu, Luna berjongkok lalu melepaskan pelukan Rachel pada kakinya. Gadis berambut pendek itu mendekap Rachel dengan erat seraya mengusap punggungnya. "Nangis aja, gue ada di sini. Lo enggak sendirian."

Rachel sempat tertegun sebentar karena Luna memeluknya untuk pertama kali. Pelukan yang menenangkan sehingga membuat gadis itu kembali meraung menumpahkan segala rasa sesak yang berada dalam hatinya.

Selain karena kematian sang mama, Rachel semakin sesak saat merasakan kelembutan serta tutur kata halus yang terlontar dari bibir adiknya.

Jika sudah begini, bagaimana mungkin Rachel bisa tega menyakiti gadis polos ini lebih jauh lagi?

~

Evanescence (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang