FS || 18

824 79 3
                                    

Setelah hampir tiga jam tertidur Mark terbangun saat mendengar obrolan suara di dekatnya, dia menerjapkan matanya guna menetralkan penglihatannya dan rasa pusing di kepala sudah kian hilang.

Mark mepusatkan pandangannya pada wanita yang sedang duduk menghadap balkon kamar dengan tubuh membelakangi dirinya, ponsel masih menempel pada telingannya dan obrolan pun terdengar samar-samar oleh Mark.

Tatapannya hanya terus memandang tubuh perempuan itu, dia ingin memanggil bahwa dirinya sudah sadar tapi seakan obrolan mereka terlalu asik jadi Mark mengurungkan niatnya. Mark menelan saliva, dadanya terasa sesak, pikiran yang menakutkan dirinya terus muncul di benaknya.

Jadi benar Y/n sudah benar-benar bahagia? Ia tidak membutuhkan dirinya lagi?—rasa sesak itu terus tertahan pada dirinya, dia benar-benar takut.

Disaat dia merasa benar-benar membutuhkan sosok Y/n tapi berbanding berbalik. Andai waktu bisa di putar kembali Mark tidak akan melakukan hal seperti itu, tentu dia tidak akan takut kehilangan Y/n seperti ini padahal kehilangan Y/n saat ini sudah ada di depan mata.

“Udah bangun?” suara itu menyadarkan Mark dari lamunannya, dia menolehkan pandangannya pada Y/n yang sekarang sudah duduk di pinggir tempat tidurnya.

“Mau makan, mau minum atau mau ap—“

“Mau kamu tetap disini.” Dia boleh egoiskan untuk saat ini, dia benar-benar merasa membutuhkan Y/n disini, dihidupnya dan di dunianya. Menolak kenyataan yang mungkin sudah di depan mata.

“Minum dulu ya, kayanya kamu butuh minum.” Y/n memberikan satu botol air mineral, mengarahkan pada Mark yang sekarang sudah bersadar pada headboard.

Bukannya mengambil botol air itu melainkan Mark menggenggam tangan Y/n. “Aku butuh kamu, Y/n.”

“Kasih tahu aku, aku harus apa biar kamu mau sama aku lagi.”

Karena diabaikan botol air itu, Y/n menaruhnya kembali diatas nakas.

“Engga ada.” Y/n menggelengkan kepalanya tatapannya masih terus menatap Mark.

“Y/n, aku takut—kamu terlihat begitu sudah bahagia sedangkan aku masih terus merasa tersiksa.”

“Aku memang laki-laki yang engga tahu diri ya? menyakiti kamu lalu sekarang memintamu kembali.”

Y/n mengusap punggung tangan Mark, seperti memberikan ketenangan. “Kamu mungkin hanya merasa bersalah Mark lalu setelah aku benar-benar memaafkan kamu akan terbiasa lagi, jadi aku memutuskan untuk benar-benar memaafkanmu.”

Y/n ingin menarik lengannya pada punggung tangan Mark tapi ditahan oleh laki-laki itu. “Aku memang merasa bersalah." Mark mengakuinya. “Tapi hatiku benar-benar hampa sekarang. Aku takut kamu bahagia bukan sama aku, Y/n.”

Harusnya Mark sadar bahwa Y/n memang sudah merasa baik-baik saja tanpa dirinya.

“Mark menjalin hubungan untuk kedua kali akan sama aja kaya membaca buku yang sama, endingnya akan sama.”

Mark menggelengkan kepalanya menyanggah perkataan itu. “Aku pastikan aku akan merevisi cerita itu, jadi endingnya enggak akan sama.”

Y/n benar-benar merasa bingung tidak pernah ia pikirkan bahwa menghadapi Mark akan seperti ini.

Dan percakapan ditelpon tadi dengan Mingyu mendengar saran darinya lalu mengingat kejadian dia di Jakarta beberapa minggu yang lalu, membuat Y/n sadar bahwa seperti Mark akan rela melakukan apa saja untuk bertemu dengan dirinya walaupun nyawanya sendiri yang menjadi taruhannya.

Setelah perdebatan yang cukup panjang di kepalanya, Y/n menarik nafas pelan lalu menatap Mark. “Oke baik, apa jaminan aku kalau sama kamu.”

Seperti bocah umur 6 tahun diberikan ice cream, sorot wajah Mark mengambarkan itu. “Aku akan mentread kamu lebih baik lagi, memberikan kamu kebahagiaan lebih banyak dan engga akan menyakiti kamu lagi.”

First Sight || Mark Lee NCTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang