01 Cukup Siti Nurbaya

33.5K 849 17
                                    

"WHATTT!!!" meski di dua kota berbeda ada jawaban yang sama dari dua anak yang sedang diajak berbincang serius oleh keluarganya.

Di Jakarta ada Rony, "Nggak bisa gitu dong, Pah. Ini namanya pemaksaan," sangkal Rony pada kedua orang tuanya.

"Ron, ini sahabat papa, dia baru sembuh abis kena serangan jantung, dia memohon ke Papah untuk mewujudkan keinginan kami di masa muda dulu. Sahabat papah ini yang membantu kita saat terpuruk dulu, kini giliran papah yang harus membantunya,"

"Masa, Rony harus menikahi orang yang bahkan Rony nggak kenal, Pah!" Rony masih menyangkal ide gila orangtuanya.

"Ya, nanti bisa kenalan dulu, Nak," mamahnya membantu papahnya menjelaskan. Nafas Rony memburu, di dadanya berkecamuk.

"Kalian tega! Emang kenapa si mesti dijodoh-jodohkan? nggak laku tuh cewek?" tuduh Rony pada orang tuanya.

"Hush, nggak boleh ngomong gitu, Ron," mamahnya menyela.

"Ya emang cewek itu nggak bisa nyari suami sendiri, sampai bapaknya mesti nyariin? kan aneh!"

"Ron, maafkan papah. Tapi papah mohon sekali kali ini. Selama ini, hanya ini permintaan papah. Papah nggak minta yang lainnya. Lagi pula, papah semakin tua Ron..." papahnya tidak melanjutkan kalimatnya.

"Pah, jangan ngomong gitu, Pah," ungkap mamahnya yang kini berkaca-kaca. Rony jadi tidak tega.

"Ron, selama ini papah membebaskanmu, tapi untuk hal ini, sekali lagi papah mohon dengan sangat, Ron," ungkap papahnya lagi. Rony menyadari, keluarganya sangat demokratis, apapun keinginannya selalu di-support oleh keluarganya, tapi untuk dijodohkan, ini sangat-sangat di luar nalar.

"Nggak bisa, Pah. Rony nggak mau, kalau Rony nggak cocok sama orangnya gimana?"

"Kita bisa mencobanya Ron, paling nggak ketemu dulu," papahnya memohon dengan berbagai cara. Dia tidak ingin menyakiti dan merugikan anaknya, tetapi juga sangat hormat kepada sahabatnya. Dia tidak mungkin menolak permohonan sahabatnya itu.

"Pah...masa menikah buat coba-coba," Rony mencoba menyangkal lagi.

"Ron, toh Kamu juga tidak punya pacar kan sekarang, dari pada jalan kesana kemari tidak jelas juga," ungkap mamahnya mendukung papahnya lagi.

"Mah, sok tau banget si, bukan berarti Rony nggak bisa nyari istri sendiri, Mah,"

"Ron, mamah juga udah tua Ron, mamah bakal sedih banget kalau kita ga bisa nurutin keinginan papah ini. Selama ini papah udah bekerja keras buat keluarga kita, mamah pengen sekali saja menuruti keinginan Papah," mamah Rony memang paling pintar membujuk anaknya.

"Mah," Rony mengusap lengan mamahnya, Rony semakin dibuat tidak tega dengan omongan mamahnya. Dia anak laki-laki pertama dan satu-satunya di keluarga ini. Dia merasa memiliki tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya. Dia menjunjung kehormatan keluarganya, papahnya adalah panutannya.

"Rony, papah mohon. Papah sangat menghormati keluarga Om Anang, seperti juga bagaimana Om Anang begitu mempercayai papah demi keluarga kita. Tolong, Ron. Kamu juga hormati keinginan Om Anang ya," kemudian hening, semua diam dengan pikiran masing-masing. Hening terasa beberapa saat. Rony sibuk berpikir. Sebal sekali kalau harus berkomitmen.

"Oke, Pah. Rony mau ketemu dulu, tapi cukup ini saja permintaannya. Rony nggak bisa ngasih lebih!" ungkap Rony kemudian berlalu ke kamarnya, meninggalkan papah mamahnya di ruang keluarga. David dan Maya berpelukan, mata mereka basah.

Rony tenggelam dalam kekalutannya.

___________

"Pah!!!" Salma mengucap dengan keras, "Pah, Caca nggak mau ya. Caca masih punya banyak cita-cita untuk masa depan Caca. Caca masih pengen sekolah lagi, masa Caca harus menikah, yang benar saja!"

"Iya, Ca. Mamah mengerti," mamahnya yang tau betul perkembangan Salma menjadi tau, perjodohan akan sangat ditentangnya.

"Caca nggak mau kalau menikah dengan orang yang Caca nggak kenal!" dia merajuk, air mata mulai mengalir dari sudut matanya. Mamahnya menghampiri dan duduk disebelahnya, memberikan pelukan.

"Papah mengenal anak teman papah, Nak. Dia anak sahabat papah, Om David yang tentunya Kamu sudah kenal. Papah sangat percaya dengan sahabat papah itu, jadi papah yakin, anaknya bisa papah percaya,"

"Nggak gitu juga Pah. Nggak bisa segampang itu disamain. Atau papah mau lihat anaknya nggak bahagia menikah dengan orang yang belum tentu cocok dengan Caca? Kalau dia kasar gimana, Pah?"

"Ca," papahnya yang kini bersuara, sambil memegang dadanya, "Papah nggak tau berapa lama lagi papah bisa menemanimu, menjagamu, jadi papah nggak tenang kalau Kamu belum menikah dan papah nggak tau seperti apa laki-laki yang akan menikahimu,"

"Pah, jangan ngomong gitu... Mah..?" Salma makin terisak, memohon pertolongan mamahnya.

"Ca, kali ini saja, mamah ingin menuruti keinginan Papah. Mamah ingin Papah bahagia..." mamahnya yang selalu mendukungnya dalam berbagai hal kali ini menentangnya. Salma mengerti, teringat kejadian sebulan lalu ketika papahnya masuk rumah sakit karena serangan jantung. Mamahnya terus menangis saat itu. Apalagi saat papahnya harus melakukan operasi untuk memasang 2 ring di pembuluh darahnya. Hal itu menyesakkan dada Salma.

Salma masih terisak beberapa saat, dia merenung. Papah dan mamahnya juga tidak bisa berkata-kata lagi. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Papah Salma tertunduk dan mengusap linangan air matanya sendiri.

"Ya udah, Ca. Papah sedih juga kalau Kamu terpaksa. Papah kira perjodohan ini demi masa depanmu, tapi kalau rupanya justru bikin Kamu bersedih, papah nggak mau maksa Kamu, Ca. Kebahagiaanmu lebih penting buat papah," papahnya mau mengakhiri tangisan berjamaah ini.

"Pah, nggak gitu," Caca justru luluh ketika melihat pengorbanan papahnya atas keinginannya, demi dirinya. "Pah, Caca mau, Pah. Papah jangan bersedih ya... Caca percaya sama Papah," ungkap Salma seraya memeluk papahnya.

"Makasih, Nak," ungkap papahnya, mamahnya yang melihat semakin berderai air mata.

Air mata membanjiri wajah Salma yang dibenamkan di bantal. Sedih dan amarah bersatu di dadanya, rasanya sesak. Orang tua yang selama ini dia sayangi, hormati kemudian menghancurkan hatinya dengan sebuah rencana konyol. Perjodohan. Di zaman yang sudah mengenal video call dan metaverse, masih ada yang namanya perjodohan? Konyol!

Apakah tidak cukup cerita Siti Nurbaya jadi contoh gagalnya perjodohan. Apakah sia-sia perjuangan R.A. Kartini yang katanya ada yang disebut emansipasi perempuan? Haduuh.... seperti mimpi saja, entah apa yang dipikirkan orang tuanya. Bagaimana bisa orang tuanya berencana menikahkannya dengan orang yang bahkan raut wajahnya saja dia tidak tahu, benar-benar konyol.

Dia bukan perempuan yang 'nggak laku', hanya saja dia sedang tidak mau berpacaran. Dia asik dengan dirinya sendiri, dia masih suka bermusik, berkarya bersama teman-temannya. Dia masih ingin sekolah lagi melanjutkan ke jenjang master untuk memperdalam kecintaannya pada musik dan pertunjukkan. Kenapa orang tuanya tidak mendukungnya, malah membuat ide konyol dengan perjodohan. Gila!

Salma bisa saja membantahnya dengan keras atau minggat untuk menghindari rencana konyol itu. Ya, Salma bisa senekat itu. Tapi kali ini dia tidak berkutik. Ayahnya sakit, itu menahannya untuk berbuat hal-hal yang tak kalah gila. Dadanya benar-benar sesak, ketika dia tidak bisa melawan kehendak yang sama-sama menyakiti hatinya. Menerima tentu bertentangan dengan hatinya, menolak berarti dia menyakiti hati orang terkasihnya.

Dia hanya bisa menangis semalaman, malam itu terasa lebih panjang dan sejak saat itu dunianya berubah.

Salma, yang biasa dipanggil Caca itu mulai sibuk dengan berbagai pertanyaan.

Siapa cowok itu? Seperti apa orangnya?

Katakan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang