"Sa, Lo nangis berapa malem?" Rony sedikit bercanda, tapi sepenuhnya serius.
"Apaan si Ron," Salma nampak canggung dengan pertanyaan yang to the point.
"Gue sampai tadi malam aja masih nangis," Rony sedikit pelan.
"Curhat nih,"
"Cerita aja. Yah, syukurlah kalau Lo nggak sampai kayak gue, gue ngerasa salah banget sama Lo, apalagi kalau Lo sampai nangis terus. Makin ngrasa salah, gue," ungkap Rony pelan, ada kelegaan kalau Salma tidak semenderita dirinya.
Salma menjeda obrolan. Pertanyaan Rony begitu lugas, membuatnya terkaget. Sebenarnya dia masih bingung bersikap. Terlalu mudah kalau dia sekarang berbaik dengan Rony, sementara kelakuannya sudah membuatnya sakit. Tapi tawarannya untuk berteman adalah alasan yang membuat Salma lemah.
Hening beberapa saat. Rony sempat bingung mencari bahan obrolan lagi. Dia tidak mau menyianyiakan kesempatan langka ini. Namun tetap tidak bisa menemukan bahan obrolan yang tepat. Dia biasa tidak berbicara jika menyetir, tapi kali ini dia ingin sekali berbicara dengan perempuan di sebelahnya, namun sayangnya bahan obrolan yang entah mengapa pada menyingkir dari pikirannya.
"Sampai surat lo datang," tiba-tiba Salma membuka suara, meski pelan. Hati Rony tercabik, dia mengeratkan gigi-giginya menahan miris.
"Sedih banget ya, Sa?" tanya Rony, "Maaf,"
"Hemmf...." Salma menghela nafas panjang.
"Gue nggak tau mesti ngomong apa lagi, cuma bisa ngomong maaf terus," Rony menggigit bibir bawahnya, menahannya tidak bergetar.
Salma juga menahan perasaannya.
"Surat itu cukup menyadarkan gue kalau gue terlalu reaksioner, bahkan gue nggak menganggap penjelasan Lo. Atau memberi Lo kesempatan untuk menjelaskan seutuhnya," Salma bercakap lebih panjang.
"Gue paham, Sa. Sikap gue pasti menyebalkan banget, cara gue salah juga. Gue emosi, gue kalap dengan hadirnya Dimas. Kayaknya gue beneran cemburu," Rony mengaku.
"Gue kesel banget si sama Lo," Salma mulai terbuka, "Tapi kayaknya bukan cuma karena kelakuan Lo. Respon gue juga lebay. Huft,"
"Foto itu parah banget ya, Sa? Nyakitin Lo banget,"
"Lo udah sejauh itu ya sama Bella? Ni dia nggak marah, Lo ngajak gue?" Rony terkaget dengan pertanyaan Salma. Pernyataan Rony malah mengundang Salma mengingat hal buruk yang ingin ditepisnya.
Rony tidak langsung menjawab pertanyaannya. Rony lantas meminggirkan mobilnya, lalu berhenti. Memencet lampu hazard. Salma sedikit bingung dengan yang diperbuat Rony. Rony memberanikan diri melihat ke arah Salma. Semesta baru memberi kesempatan padanya, dia benar-benar tak mau menyia-nyiakannya, takut kesempatan itu hilang lagi.
"Sa, gue udah jelasin di surat itu. Gue nggak ada apa-apa sama Bella dan yang lainnya. Gue nggak ada komitmen sama mereka,"
"Tapi ada foto itu Ron," Rony sedikit kesal karena rupanya Salma belum sepenuhnya memaafkannya. Tapi sedikit senang karena kali ini Salma tidak diam dan mempertanyakannya langsung padanya.
"Gue udah jujur, waktu itu gue beneran nggak sadar. Gue akui itu gobloknya gue. Tapi kemarin gue ngobrol sama anak-anak yang jalan juga waktu itu. Diman yang jagain gue waktu itu, nggak ada apa-apa sebelum atau setelahnya. Itu foto diambil waktu gue ditinggal Diman ke toilet. Diman aja nggak tau," Rony menjelaskan dengan menggebu disertai kekesalan pada perempuan yang dia sebut namanya.
"Sebenernya nggak cuma foto itu, Ron...." Salma sudah memahami perihal foto, tapi ada hal lain.
"Twitter ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan [End]
FanfictionCerita mengenai perjodohan lelaki dan perempuan yang tidak mudah. Perjalananan panjang untuk bersatu bertemu cinta. Seperti layaknya perjalanan, dalam prosesnya bertemu jalan yang berlika liku juga tanjakan dan turunan. Sebuah perjalanan menelusuri...