Rony dan Salma memasuki kereta yang akan membawa mereka ke Jogja. Saat masuk ke dalam kereta tercium bau snack kentang yang permukaannya bergelombang. Mungkin ada penumpang yang sudah sedari tadi bosan menunggu keberangkatan kereta. Bau itu menggantikan bau aroma roti berbentuk kubah dengan rasa kopi, yang hampir di semua stasiun terasa aroma yang sama. Kemudian menjadi jamak, dan umum. Tidak ada lagi aroma terasi di Cirebon, tempe mendoan di Purwokerto atau pecel di Kroya. Penanda itu punah.
Rony mengangkat backpack-nya yang berwarna hitam, meletakkannya di rak di atas tempat duduk. Lalu meminta duffle bag Salma, melakukan hal yang sama. Keduanya lalu duduk di lajur kursi sebelah kiri. Salma memilih duduk di dekat jendela, Rony di sebelahnya. Nabila yang mencarikan tiket untuk mereka, memilihkan kursi yang tepat karena jendela begitu lebar di samping mereka, bukan pilar kereta.
Sebelum kereta berangkat, Rony sempat turun untuk merokok di lantai teratas bangunan stasiun Gambir. Di area merokok yang jika menghadap ke Barat nampak tugu Monumen Nasional yang disorot lampu warna-warni. Sebenarnya hatinya masih gelisah, pikirannya belum tenang. Perjalanan ke Jogja selama sekitar 6,5 jam membuatnya berada di ruang yang begitu intim dengan Salma. Apakah ini saat yang tepat untuk mengatakan kegundahannya?
Pukul 18.50 kereta Gajayana yang mereka tumpangi beranjak meninggalkan stasiun setelah masinis membunyikan semboyan 35, suara klakson panjang kereta yang menandakan kereta siap berangkat.
"Nih dimakan," Salma menyodorkan roti rasa kopi ke Rony.
"Eh,"
"Kita tadi ga sempet makan, Lo si lama," keluh Salma.
"Sorry, gue tadi nyariin pasport nggak ketemu-ketemu, keselip,"
"Ah, Elu, bisa gagal kita jalan-jalan," ucap Salma sambil memanyunkan bibirnya.
"Ya, bisa nunggu bikin dulu, sehari bisa jadi kok. Atau jalan-jalan di Indonesia aja kan bisa,"
"Huh, keliling asia tenggara tu kesempatan langka. Kalau di Indonesia, kayaknya masih dibolehin pergi sendiri," ucap Salma sambil sibuk makan rotinya sendiri. Sepertinya Salma mengharap besar pada perjalanan mereka ini.
"Soal makan gampang lah, nanti kita bisa makan di restorasi, santai lah..."
Salma yang well-planned dan Rony yang spontan, menjadi sebab perdebatan di awal perjalanan karena tidak sempat makan malam. Mungkin bukan karena soalan Rony yang kurang well-prepared yang membuat Salma kesal, tapi justru karena rasa lapar itu sendiri. Salma yang bad mood lebih banyak memandang jendela, mengamati lampu kota. Dia menyukainya. Lampu itu semakin lama semakin sedikit, menunjukkan kereta sudah mulai meninggalkan kota Jakarta.
Rony hanya terdiam menikmati rotinya, dia tidak mau menambah keributan.
Salma membalik arah pandangnya, "Eh, Ron, Lo ga minum obat?" tanya Salma ke lelaki di sebelahnya, mengingatkan.
"Enggak, gue minum kalau lagi sakit aja kok,"
"Obatnya Lo bawa?" tanya Salma.
Rony jadi mengingatnya, dia lalu mengaduk-aduk tas bahunya.
"Anjing, gue lupa! Tadi udah gue siapin di atas meja, malah nggak kebawa,"
"Rony....!!!" Salma kesal lagi.
"Nanti beli kalau udah sampai,"
"Ya kalau sakitnya dijalan gimana?"
"Ditahan, ya gimana lagi," Rony hanya bisa pasrah. "Tapi ini aman kok,"
"Hiiiih!" Salma hanya bisa gemas.
"Udah ih, marah-marah mulu.... Lo laper kan? Yok makan!" Rony bangkit lalu menggandeng lengan Salma ke ruang restorasi, karena si perempuan ogah-ogahan karena kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan [End]
أدب الهواةCerita mengenai perjodohan lelaki dan perempuan yang tidak mudah. Perjalananan panjang untuk bersatu bertemu cinta. Seperti layaknya perjalanan, dalam prosesnya bertemu jalan yang berlika liku juga tanjakan dan turunan. Sebuah perjalanan menelusuri...