82 Gosip Empat Sekawan

8.1K 537 85
                                    

"Gimana keadaanmu, Mas?" tanya Maya ketika ia sudah bersama David, serta Anang dan Santi. Mereka sedang berada di gazebo kebun berkolam milik keluarga Anang.

"Aku masih dikasih kesempatan hidup, May,"

"Syukurlah, aku benar-benar khawatir," David menimpali.

Suatu siang menuju senja, David dan Maya yang baru dari Surabaya menaiki kereta mampir ke Yogyakarta. Menyambangi sahabatnya yang baru sembuh dari sakit akutnya. Mereka berdua merasa ada yang perlu diluruskan. Minimal menjalin silaturahmi dengan sahabat lama yang sempat terguncang masalah karena huru-hara hubungan anak mereka. Apapun yang terjadi mereka tetap harus berteman baik. Persahabatan seperti kepompong, tirakat panjang untuk menjadi kupu-kupu. Relasi mereka sudah sangat panjang, sangat lama.

Kebiasaan mereka kalau ketemu suka nongkrong di kebun yang ada kolamnya. Anang tau David menyukainya. Merehatkan sejenak pikirannya dari riuhnya Jakarta. Karena Maya dan David hanya punya waktu sebentar mereka langsung bertemu di kolam itu.

"Ya... kemarin untungnya istriku cukup sigap, mungkin karena sudah pernah ya, pas tanda-tanda mau serangan, dia langsung kasih aku obat pengencer darah. Jadi aku ada kesempatan sampai di rumah sakit,"

"Keren Kamu, San!" puji Maya.

"Tetep tratapan, Mbak! Untung ada obatnya di rumah. Wah itu jantungku kaya mau ikut copot," ucap Santi sambil membawa minuman ke meja di tengah satu set kursi sedan.

"Sebenarnya Aku...." Maya mau mengatakan sesuatu tapi seperti tercekat.

"Kami, sebenarnya sekaligus mau minta maaf. Atas kelakuan Rony, yang bikin kekacauan ini," David yang melanjutkan.

"Maaf juga kalau Rony belum bisa minta maaf secara langsung," Maya menambahi.

"Udah takdir, May," jawab Anang santai. Tidak ada amarah, Santi melihatnya sedikit heran.

David dan Maya juga heran, heran dengan jawaban Anang, heran dengan tatapan Santi ke Anang.

"Gimana kabar Rony? Nabila? Kok nggak pada ikut?" tanya Anang.

"Ini kami kan dari Surabaya, sebelum balik Jakarta kami sempatkan mampir kesini, kemarin kan kita belum sempat ketemu," jawab David.

"Nabila sehat, Rony ya gitu... masih patah hati. Kemarin sempat sakit, tapi ya... udah mendingan sekarang," Maya yang cerita.

"Hem, kita benar-benar terlalu dalam mencampuri urusan anak-anak kita ya..." ungkap Anang, matanya menerawang.

"Mas, ga usah dibahas dulu nggak papa, iya kan Mas David, Mbak Maya? Ayo sambil diminum," Santi menyela.

David dan Maya minum teh yang tadi dibuatkan Santi. Ada kacang dan jagung rebus juga di meja mereka, sebagai suguhan.

"Iya... eh, Caca gimana kabarnya?" tanya Maya.

"Baik, Mbak. Galau mau jadi nggak kuliahnya. Kepikiran papahnya katanya," ungkap Santi, menggeser arah obrolan.

"Ya, nggak cuma soalan aku kayaknya, San. Tapi mungkin juga alasan yang lain," Anang seperti memikirkan sesuatu.

Anang menarik nafas dalam. David dan Maya paham maksud Anang, mungkin lebih karena Rony. Keempatnya tau hubungan mereka sudah lebih dalam. Keduanya saling menyayangi. Tragedi kemarin pasti masih membuat mereka berdua terpukul dan hancur.

"Aku sebenernya kepikiran dua anak itu, perasaannya pasti naik turun sekali. Jujur saja aku merasa bersalah,"

"Mas?" Santi keheranan, suaminya belum membahas ini sebelumnya.

David melihat Anang seperti ingin curhat, seperti saat muda dulu. Sebagai laki-laki biasanya suka memendam perasaan sendiri tidak seperti perempuan yang mudah cerita ke teman-temannya. Di titik tertentu, dulu Anang cerita dengan sahabatnya, David. Begitupun sebaliknya. David tahu, Anang perlu melegakan perasaannya.

Katakan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang