"Ronn!" panggil mamahnya di depan pintu kamarnya.
"Mamah masuk ya, Nak?" ungkap mamahnya langsung masuk.
Rony tampak menggulung badannya di tempat tidurnya.
"Sayang..."
"Hem..." rupanya Rony tidak tidur.
"Kamu sakit kah?" mamahnya bertanya, yang ditanya hanya menggeleng.
"Ya udah, siap-siap, ini udah jam 4, jadwal kita jam 7.00, sejam lagi kita jalan. kita diminta jam 6.00 udah di RS,"
"Iya..." Rony menjawab lirih. Hatinya tak karuan. Pengen rasanya ditelan bumi. Hp, game udah nggak bisa menyelamatkan kecemasannya.
Maya mencium, lantas dibalas pelukan erat anaknya. Dia tau anaknya sedang gelisah luar biasa.
"Maah," Rony mencari perlindungan ke mamahnya atas kecemasannya.
"Rony," panggil Maya sambil menangkupkan dua telapak tangannya di wajah Rony, "Sayang, mamah yakin kamu pasti bisa, Kamu berani," mamahnya mencoba menguatkan. "Mamah tunggu di luar ya, itu kayaknya papah udah pulang juga. Kamu mandi,"
Rony mengangguk. Dengan berat dia bangun dari tidurnya. Dia meraih hp-nya. Sebenernya dia ingin menghubungi seseorang, entah sejak kemarin dia menjadikan orang itu tempatnya untuk berbagi rasa, meskipun tidak secara langsung. Tapi melihat banyak bubble chat yang banyak dari orang itu membuatnya mengurungkan niatnya.
Rony beranjak ke kamar mandi. Ya ampun tong, selamat berpisah ya, doain gue kuat... Rony menangis di bawah aliran shower, supaya tidak ada yang tahu air matanya. Takut....
Mereka sekeluarga berangkat ke Rumah Sakit yang sudah dipilihkan oleh Maya. David di belakang kemudi, sementara Maya dan Nabila di seat belakangnya. Membelah jalanan Jakarta, untungnya Rumah Sakit itu hanya sekitar 45 menit dari kediamannya. Rony duduk terpaku melihat jalanan. Dia hanya memakai celana pendek, kaos dan hoodie berwarna cream. Dia menghindari obrolan dengan membuang muka ke jendela atau hanya memandang lurus ke depan. Jakarta saat senja mulai temaram, namun tetap riuh dengan lampu kota.
"Dek, tadi sarungnya dimana ya?" tanya mamahnya sambil mencari-cari barang yang ditanyakannya tadi.
"Ini mah, ada di totebag aku,"
"Ada kan ya, nggak ketinggalan," tanyanya memastikan, sebenarnya mamahnya yang nampak gelisah, mengkhawatirkan anak lelakinya.
"Eh, gimana nanti langsung aja gitu mah?" tanya David.
"Nanti check darah dulu, check lab katanya. Makanya kita mesti datang lebih dulu. Setelah hasilnya keluar bisa langsung tindakan," jelas Maya yang dari kemarin berhubungan dengan pihak rumah sakit.
David melihat anak yang duduk di sebelahnya sedari tadi diam, tidak melakukan apa-apa, bahkan hp-nya tidak ia sentuh. Pikirannya entah kemana. Maya yang melihat itu seperti keajaiban.
Dari dulu kalau berbicara soalan sunat, pengalaman mereka menghadapi Rony beragam. Saat kecil Rony ikut melihat tetangganya yang disunat di rumah, kebetulan anak yang disunat reaksinya cukup berlebihan. Si anak menangis, berteriak dan dijegal banyak orang. Rony yang waktu itu penasaran justru melihat prosesi sunatan itu, melihat banyak darah yang berceceran karena si bocah tidak bisa diam, juga melihat pisau dan gunting yang menyebabkan darah tersebut.
Sejak saat itu Rony menolak untuk disunat, dia takut, setakut itu. Pernah mereka berhasil membawanya ke klinik sunat, tapi dia kabur saat gilirannya. Rony berjalan hampir 4 Km dari klinik tersebut padahal usianya baru 12 tahun.
Kali lain dokter yang datang ke rumah tanpa sepengetahuannya. Rony mengurung diri di rumah sampai 3 hari, di hari ke-3 pintu kamarnya terpaksa didobrak untuk memastikan keselamatannya, kebayang beberapa hari tanpa makan dan minum, entah apa yang membuatnya bertahan, waktu itu Rony marah besar. Itu terjadi saat dia di bangku SMP.
Terakhir waktu Rony SMA, tiap kali orang tuanya mengajak diskusi berkaitan dengan sunat, Rony akan marah dan pergi dari rumah, bisa semingguan dia tidak pulang. Meskipun dia hanya bilang menginap di rumah temannya, tapi itu terjadi berkali-kali. Hal-hal ini membuat Maya dan David tidak pernah menyinggung lagi soalan sunat dengan Rony. Mereka bersepakat, nanti ada masanya Rony akan mau sendiri.
Dan masa itu adalah hari ini. Ada seseorang yang membuat anak laki-laki itu mau mendatangi rumah sakit ini. Ada haru, namun juga cemas. Kekhawatiran orang tua yang mendalam. Apalagi sejak kemarin Rony begitu diam, ya dia memang pendiam, tapi ini benar-benar minim sekali suaranya.
"Ron, are You okay?" tanya David di sebuah lampu merah. Yang ditanya tidak menjawab, hanya menghembuskan nafas panjang. Pertanyaan apa ini, tentu tidak baik-baik saja. Hatinya tak keruan, dia takut setakutnya, tapi dia kembali mengingat Salma, Om Anang dan istrinya, juga masa lalu perjuangan orang tuanya dengan sahabatnya itu, segenap hati dia mengumpulkan nyali yang tidak besar itu.
Maya mengusap lengan anaknya dari belakang, "Yang sabar ya, Nak. Mamah berdoa terus,"
Rony menangkap kegelisahan orang tuanya. Dia mengambil hp-nya, mencari sosok tempat mengadunya dari kemarin. Seseorang yang menjadi alasannya menjalani hal mengerikan di hadapannya.
R~ : doain gue ya, Sa
Sebuah pesan singkat dia kirim. Pesan itu tidak merespon pesan-pesan sebelumnya. Rony mengharap pesan balasan yang ajaib dari si pemilik nomor, tapi nihil. Entah mengapa dia mengharap balasannya saat ini, entah ejekan, entah kata-kata penyemangat, mungkin juga doa. Sial! hanya ada satu tanda centang di pengirimnya yang berarti pesan itu sudah terkirim, namun si penerima belum menerimanya. Rony heran sendiri kenapa dia merasa kecewa.
Mobil memasuki area rumah sakit, David memarkir di bagian depan, tidak ke basement untuk memudahkan akses. Entah apa yang dipikirkan David, kekhawatiran Rony akan kabur masih ada di bayangannya, oleh karenanya dia harus mengantisipasi. Anehnya Rony cukup menurut kali ini, meski terlihat tidak santai.
Maya langsung menuju resepsionis, Nabila mengikuti di belakangnya. David membersamai anak lelakinya, "Semangat ya Ron."
"Emangnya Rony mau ikut lomba, Pah," Rony membalas ketus.
"Papah sebenarnya deg-degan juga, Ron," ungkap papahnya jujur, keterbukaan seperti ini yang disukai Rony dari orang tuanya.
"Nanti temani Rony ya, Pah," pinta anaknya seperti anak kecil saja. David membalasnya dengan rangkulan di bahu Rony, sedikit genggaman di lengannya. David begitu bangga dengan anaknya ini, ada sedikit haru juga diselanya.
Seorang petugas rumah sakit menunjukkan kemana mereka harus menuju setelah Maya mengurus administrasi. Mereka berempat jalan beriringan ke ruangan yang dimaksud. Prosedur pertama yang harus dijalani adalah cek darah. Mereka menuju sebuah ruangan dimana Rony akan diambil darahnya. Untuk pasien dewasa, cek darah untuk mengetahui tinggi gula darahnya, supaya tahu ada kemungkinan susah sembuh tidak. Atu untuk menjaga mengenai hemofilia, darah susah beku. Untuk mengantisipasi pendarahan.
Maya mengantarkan anaknya masuk ruangan tersebut. Rony diminta duduk, Maya berdiri di sebelahnya. Seorang perawat membantu Rony menggulung lengan hoodienya. Sebuah kapas yang diberi antiseptik diusapkan di lengannya dimana suster tadi sudah mengusap mencari pembuluh darahnya. Kemudian suntikan ditancapkan di lengannya.
"Aaawh," Rony memekik, tangan satunya meraih mamahnya, membenamkan kepalanya ke perempuan yang sangat ia sayangi. Maya merengkuhnya, memberi usapan pada punggung anak lelakinya. 10ml darah disedot ke suntikan tadi. Rasanya hanya sekejap, tapi suntikan kecil tadi menciutkan nyali Rony, membayangkan prosedur selanjutnya yang harus ia jalani.
Setelah sebuah plester berbentuk bulat ditempelkan di bekas suntikan tadi, mereka berdua keluar, meminta mereka menunggu di ruang tunggu dekat ruang operasi yang ditunjukkan oleh perawat tadi.
Rony membuka hoodie-nya menyerahkan ke mamahnya, dia mengenakan kaos berwarna putih. Memilih duduk di salah satu sofa. Kedua tangannya ditangkupkan di depannya. Meremas satu sama lain, saling menguatkan. Mamahnya duduk di sebelahnya. David dan Nabila mengambil duduk di sofa lainnya. Mereka saling diam, menata hatinya masing-masing, sambil menunggu hasil lab.
Tiba-tiba ada 3 orang yang berjalan menuju mereka yang sedang menunggu. Rony melihat ke arah datangnya suara langkah kaki. Sebuah keluarga dan seorang perempuan yang menjadi alasan di sini sekarang, ketiganya datang menghampiri mereka.
Senyum tipis tersungging di ujung bibirnya, dia tidak membalas pesannya, tapi kehadiran sebagai balasannya...
KAMU SEDANG MEMBACA
Katakan [End]
FanfictionCerita mengenai perjodohan lelaki dan perempuan yang tidak mudah. Perjalananan panjang untuk bersatu bertemu cinta. Seperti layaknya perjalanan, dalam prosesnya bertemu jalan yang berlika liku juga tanjakan dan turunan. Sebuah perjalanan menelusuri...