84 Dua Sejoli

21.2K 784 164
                                    

Rony dan Salma menuju ke parkiran. Keluar dari restoran mereka berjalan beriringan, tanpa keberanian untuk saling memandang. Keduanya sibuk dengan pikiran masing masing. Meski hening diantara keduanya, tapi jantung mereka sebenarnya tidak bisa diam. Berlompatan.

Rony menuju motornya. Dia langsung naik, mengenakan helmnya. Ada satu helm lagi, helm Nabila. Helm berwarna kuning.  Salma curiga Rony baru membonceng orang lain. Hal itu tidak dibahas Salma lebih lanjut. Belum. 

Rony memberikan helm berwarna kuning itu ke Salma. Salma langsung membonceng setelah mengenakan helm yang diberikan Rony. Motor Rony yang di-custom dengan gaya japstyle dan memiliki jok nanggung, memaksa Salma membonceng begitu mepet dengan pengendaranya.

Setelah dirasa siap, Rony menjalankan motornya. Salma tidak berpegangan, tangannya diletakkan di kedua pahanya. Masih hening. 

Keduanya kompak membungkam mulut selama beberapa Kilometer. Tidak ada yang bersuara. Rony mengendarai motornya dengan pelan. Memberikan waktu pada otaknya untuk memikirkan apa yang harus dibicarakan dengan Salma. Ini kesempatannya. Kesempatan yang sudah diberikan oleh semesta. Dia tidak boleh menyia-nyiakannya. Tapi harus ngomong apa? Bagaimana memulainya?

Kepala Salma tidak kalah Riuh. Dia merasa seperti si bego yang nurut aja ikut ke Rumah Bujang, padahal dia tidak tahu apa yang dikehendaki Rony. Dia juga tidak tahu apa rencana Rony. Entah apa yang merasukinya jadi dia nurut begitu. Mungkin Rindu?

Bukan, Salma menyangkal sendiri. Rony bilang akan bertemu teman-temannya. Ya, teman-teman. Itu alasannya. Salma merasionalisasi pikirannya.

Malam di Jakarta terasa dingin. Meski tidak sedingin Bandungan. Namun gelap malam tentu membuat dingin, apalagi naik motor. Malam semakin dalam. Di setengah perjalanan, Rony berubah pikiran untuk mempercepat laju motornya, ada ketidak sabaran dalam hatinya. Salma sedikit tersentak. Tangan Rony meraih tangan Salma, memindahkan dari paha perempuan itu ke perutnya. Masih dalam diam. Salma lagi-lagi menurut, bahkan berinisiatif melingkarkan tangan satunya lagi. Memeluk erat.

Rony tersenyum simpul di balik buff mask-nya. Ada rasa yang terkekang kemudian terlampiaskan.

Dingin itu berubah menjadi hangat. Ketika tangan Rony terbebas dari mencengkram kopling motor, tangan kirinya menggenggam tangan yang bertaut di perutnya. Memberi rasa tentram. Rony merasakan Salma lalu menyandarkan kepalanya di punggungnya. Menyerahkan dirinya. Semakin hangat.

Keduanya tersenyum, meski beberapa tetes air mata haru justru lolos dari mata mereka saat itu, syukur yang mendalam.

Perjalanan selama 1 jam terasa sangat cepat. Mereka melewati kurang lebih antara 8-10 lampu merah. Mungkin karena hubungan mereka yang sudah mendapat lampu hijau, jadi rasanya seperti jalan terus.

Motor Rony langsung memasuki carport setelah sampai di Rumah Bujang. Gerbangnya terbuka, pintunya pun terbuka. Sudah ada mbak Sri sepertinya. Salma turun dari motor, tangannya berpegangan pada bahu Rony untuk menyeimbangkan diri.

Keduanya langsung masuk ke rumah. Rumah itu terasa lebih hangat di mata Salma dari terakhir dia berkunjung kesana. Rony menyapa mbak Sri sebentar, yang langsung membuatkan minuman hangat, kopi dan teh, tanpa lemon kali ini. Salma duduk di kursi meja pantry. Tempat dulu ia memotong semangka. Memori canda tawa di dapur itu bersama Rony terlintas di benaknya.

"Kok malem-malem, Mas?" tanya Mbak Sri, kepo.

"Tadi abis makan sama mamah-papah, terus kesini. Maaf ya mbak, mendadak,"

"Ga papa, Mas. Apa mau nginap?" tanyanya lagi.

"Belum tau nanti gampang," jawab Rony sambil melirik Salma.

Katakan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang