76 What Siblings Are For

7.6K 505 26
                                    


Rony menyerahkan barang-barang yang tadi dibelinya juga makan siang untuk mereka. Salma menerimanya. Santi hanya memasang wajah datar, sulit ditebak. Salma menolak untuk pulang, dia ingin terus menjaga papahnya. Dia hanya beristirahat di ruang tunggu tersebut, bersama keluarga pasien lainnya. Rony berlagak kuat setiap kali hadir disana. Dia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kerapuhannya.

"Gimana kondisinya?" tanya Rony.

"Mulai stabil, tapi tekanan darahnya belum terlalu oke. Tadi gue udah masuk, tapi papah lagi tidur," jawab Salma. Kekhawatiran nampak jelas di matanya. "Lo dari mana?"

"Beli ini semua. Oya, Sa. Gue book penginapan disekitar sini. Kalau Lo mau istirahat barang sebentar, Lo kesana aja. Biar gua yang disini," ucap Rony.

"Makasih, Ron. Gue mau temenin papah aja disini," Salma tetap kekeh dengan pendiriannya.

"Lo juga harus istirahat,"

"Iya, Ron. Kalau gue capek gue bakal bilang," Salma tetap keras kepala seperti biasanya.

Santi? Dia hanya terdiam, mendengarkan dua manusia itu berinteraksi. Tanpa mengomentari maupun menginterupsi. Pikirannya juga tidak kalah galau. Ada marah yang tertahan kepada Rony. Tapi dia juga tidak bisa menihilkan bagaimana wajah anaknya tampak bahagia bersama lelaki itu. Tapi merelakan anaknya bersama lelaki yang suka main perempuan juga tidak bisa. 'Main perempuan', sebuah tuduhan.

"Makan dulu, Sa. Makan dulu, Mah," tawar Rony. Yang lagi-lagi diacuhkan oleh Santi.

Rony serba salah, dia merasa kehadirannya seperti duri dalam daging.

"Lo nggak mau balik Jakarta?" apa Salma mengusirnya?

"Gue temenin Lo dulu disini ya," Rony meminta ijin.

"Nggak perlu!" kali ini Santi tak bisa menahan emosinya.

"Mah?" Salma pun terkejut.

"Ca!"

Rony tersentak melihat kedua perempuan itu saling tatap. Entah ada obrolan apa selama dia pergi tadi. Dia hanya bisa memendam perasaannya. Berargumen apapun saat ini tidak akan ada hasilnya. Situasinya begitu rumit. Rony merasa begitu bersalah atas apa yang menimpa pada Anang. Dia ingin sekali menebus kesalahannya.

________

Malamnya Rony kembali berjaga bersama Salma. Santi sudah pulang setelah boleh masuk untuk menyapa Anang. Keduanya duduk di ruang tunggu, hanya beranda dengan beberapa set kursi. Untuk situasi dimana keluarga harus siaga, tidak ada tempat yang lebih enak. Minimal menghalau dinginnya malam.

"Sa..."

"Kenapa, Ron?"

"Boleh ngobrol nggak?" tanya Rony.

"Lo bingung ya dengan keadaan ini?" Salma berusaha memahami Rony. "Kondisi gue nggak karuan, Ron. Emosi gue apalagi. Gue takut kalau kita bahas sekarang malah jadi nggak baik," jawab Salma.

Rony berusaha mengerti, dia mengangguk dan kembali diam.

"Gue ngerasa bersalah banget, Sa. Maafin gue ya, bokap Lo jadi sakit," ungkap Rony tulus dari dalam hatinya.

"Ini takdir yang ga bisa gue tolak, Ron. Kek kentut," ucap Salma dengan senyum tipis.

"Lo nggak marah sama gue?"

Salma menghela nafas panjang, "Energi gue udah terkuras, saat ini. Mungkin besok gue marah-marahnya,"

Rony tersenyum kecil menanggapi candaan ringan Salma.

"Gue masih bingung dengan situasinya, Ron. Lo tau penyebabnya. Gue cuma pengen Lo ngerti, ini semua ga cuma salah Lo. Itu yang gue pahami sejauh ini. Gue juga salah karena tidak memberi tahu sedari dulu. Maksud gue nggak pengen mereka tahu. Tapi sepertinya takdir mengharuskan mereka tahu. Gue juga salah langkah,"

Katakan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang