69 Day 8 : Lasem

8.9K 515 44
                                    


Lasem, kota kecamatan yang masuk dalam kabupaten Rembang. Nama tempat yang sedari awal memang disebutkan oleh Salma. Sedari masuk kawasan ini nuansa Tionghoa sangat kental. Di jalan arah mereka menginap ada pintu-pintu gerbang ke rumah atau sering disebut regol, bentuknya semacam gapura kampung kalau sekarang. Tapi ini persis di tengah pagar rumah. Uniknya, di Lasem, ujung atap berdekorasi bentuk ekor burung walet (swallow tail), bentuk melengkung ke atas di ujung-ujung bubungan atapnya seperti kebanyakan di klenteng.

Berbeda dengan pecinan di Semarang, di sekitar tempat membeli lumpia kemarin, yang kebanyakan bangunannya berbentuk ruko, di Lasem rumahnya kebanyakan justru cukup luas. Memiliki halaman baik di depan atau di belakang rumah utama. Dilengkapi bangunan tambahan di sisi kanan-atau kiri. Mungkin karena di kota kecil Lasem tidak terkena kebijakan politik kolonial waktu itu Wijkenstelsel, pembatasan wilayah untuk kaum etnis Tionghoa di beberapa kota besar di Hindia Belanda.

"Akhirnya makan sayur!" teriak Salma saat melihat menu sarapan yang disajikan penginapan tersebut. Salah satunya adalah urap sayuran.

Rony hanya memberikan senyuman karena baru saja menyuapkan sendok pertama sarapannya. Sebuah kerupuk dipegang di tangan kirinya. Mereka duduk di beranda salah satu bangunan yang menjadi penginapan di Rumah Merah. Suara musik pengiring barongsai terdengar, menjadi soundtrack sarapan pagi itu. Mungkin ada komunitas yang sedang berlatih.

Saat mereka datang, mereka belum sempat untuk berkeliling Rumah Merah ini. Rupanya ada tour guide dari pengelola kalau pengunjung mau. Tentu saja Salma bersemangat. Rony pun setuju. Jadi kegiatan hari ini mereka akan mulai dari rumah ini.

Selesai makan, mereka langsung menghubungi pengelola. Kemudian seorang pemandu mengantarkan mereka berkeliling. Dimulai di bagian depan ada ruang yang tidak terlalu luas yang memajang kain batik khas Lasem. Pemandu menceritakan mengenai Batik Tiga negeri. Diberi nama demikian karena dulunya proses pewarnaan kain ini di 3 kota berbeda. Warna merah di Lasem, biru di Pekalongan, dan warna sogan(coklat) di Solo. Warna batik Lasem memang colourfull, sama seperti batik pesisir umumnya. Tidak seperti batik Jogja-Solo yang lebih monokrom dalam turunan warna coklat.

Sedangkan untuk motifnya merupakan perpaduan antara Tionghoa dan Jawa. Motif Tionghoa sendiri terlihat pada motif burung hong, naga dan kupu-kupu. Sedangkan pengaruh tradisi Jawa pada motif tanaman sekitar, suluran dan bunga-bungaan. Lasem memang kota yang penuh toleransi antar etnis. Tidak sekedar Jawa dan Tionghoa, namun juga dengan para santri dari pondok pesantren di Lasem ini.

Selanjutnya Rony dan Salma diajak untuk melihat mengenai bangunan-bangunan yang ada di Rumah Merah. Di rumah yang berfungsi sebagai lobby kita disambut 3 pintu besar. Di atas pintu tersebut terdapat tulisan dalam huruf hanzi, yang berfungsi juga sebagai talisman. Selurus dengan pintu tengah ada sebuah patung dewa yang diapit barongsai kecil berwarna biru dan hijau.

Selain patung dewa-dewa yang dipajang, ada juga altar pemujaan terhadap Dewi Kwan Im, suasana spiritual terasa dengan adanya aroma hio lo yang dibakar. Ruang lainnya adalah beberapa kamar yang menjadi penginapan. Furniture-furniture khas peranakan memenuhi bangunan ini, seperti lemari, meja rias, meja makan, dan lain sebagainya. Lantai rumahnya juga dari terakota.

Ada yang menarik, sebuah lemari besar untuk penyimpanan bahan makanan di area belakang. Kemudian ada juga seperti pintu lemari yang saat dibuka rupanya terdapat tangga ke atas. Sepertinya ke lantai loteng, loft. Selain ruang ke atas, ada juga tangga ke bawah, bunker. Kemungkinan untuk berlindung pada masa perang. Atau juga jalan untuk melarikan diri. Katanya lorong bunker ini terhubung dengan rumah sebelah. Namun saat ini ditutup di ujung lainnya.

Salma terkagum-kagum dengan ceritanya dan kejutan-kejutan di rumah itu, seperti Rumah Bujang. Rony tentu saja terkagum dengan pilihan Salma. Selesai berkeliling, mereka duduk di beranda penginapan. Pengelola penginapan menjamu mereka Es Kawista. Minuman bersoda ringan dari buah kawista yang khas dari daerah sana. Warnanya coklat kemerahan, sedikit keunguan. Rasanya ajaib namun sangat segar.

Katakan [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang