Prolog

8.7K 276 38
                                    

London, England

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

London, England

Suasana riuh acara fashion show akbar di salah satu hotel ternama kota London itu semakin semarak. Berbagai karya desain kenamaan satu per satu diperagakan model di atas panggung catwalk. Para tamu undangan dengan pakaian tak kalah glamour bertepuk tangan heboh.

"Selanjutnya kami panggilkan kepada kalian Nona Arniafinza."

Senyum perempuan yang namanya dipanggil itu mengembang. Sebuah pidato singkat diucapkannya pada seluruh tamu. Dengan senyum merekah dia mengungkapkan seluruh rasa terima kasih atas keberhasilan perhelatan acara fashion show tahunan terbesar di London yang mencatut namanya sebagai salah satu designer untuk memamerkan karya ini. Lagi-lagi suara tepuk tangan semakin heboh ketika sang perempuan menutup pidatonya dan mempersilahkan para tamu menikmati hidangan.

"Good job for you, Arniafinza." Darian tersenyum miring dengan sebelah tangannya di saku.

Finza-perempuan itu-menatap laki-laki di hadapannya dengan senyum semakin lebar. "Sayang, makasih banyak udah datang. Aku pikir kamu lagi sibuk di rumah sakit."

Darian tertawa. Ditatapnya Finza dengan sangat intens. Malam ini Finza sangat cantik dengan balutan peach long dress mewah bertabur kristal. Gaun itu merupakan rancangannya sendiri. Dia menghabiskan hampir tiga bulan untuk menyelesaikan rancangan gaun mewah itu. Dan hasilnya pun sangat memuaskan. Bahkan desainer cantik itu jauh lebih pantas mengenakan gaunnya sendiri daripada para model di atas panggung sana.

"Jadi?" Darian menyipitkan matanya.

Finza masih tersenyum. "Thank you, sayanggg," ucapnya malu-malu sambil mengalihkan pandangan. Tepat pada jendela kaca yang menampilkan gemerlap malam kota London. Dari sana dia bisa melihat menara jam Big Ben yang berdiri kokoh dengan sejuta cahaya yang menyelimutinya. Indah sekali, pikir Finza.

"Kamu suka banget sama pemandangan London."

Finza mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya. "Sejak lima tahun lalu tinggal di sini, aku udah jatuh cinta sama London."

Suara dering ponsel yang menyeruak membuat Finza buru-buru merogoh tasnya. Dan menatap Darian dengan memohon.

"Kamu tunggu sini bentar, Dan. Kembaranku telpon. Kalau nggak diangkat dia bisa ngomel."

Darian lagi-lagi tertawa. Dia mengangguk dan mempersilahkan Finza pergi. Kesempatan itu digunakannya untuk mengambil dan menyiapkan sesuatu dibalik jas. Senyuman tercetak jelas di bibirnya ketika menatap kotak beludru di genggaman.

Semua sudah siap. Beberapa detik lagi.

Satu.

Dua.

Tiga.

Seketika kembang api bermunculan mewarnai malam di St. Avenue kota London itu. Finza tampak terpesona ketika sudah kembali di samping Darian. Sebelah tangannya masih menggenggam ponsel. Suara saudara kembarnya yang seperti kereta diabaikannya. Dia terus menatap kembang api dengan kagum.

Revenger CriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang