Dafian Wiranata Dawson (Dafa) membenci saudara tirinya, Darian Wiratama Dawson (Darian) karena telah merebut cinta pertamanya dan membuat hidupnya di masa lalu bagai terkurung dalam kegelapan. Mungkin dulu dia hanya remaja lemah yang mendapat cap an...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dafa tidak pernah sepanik ini dalam hidupnya. Sudah beberapa bulan terakhir dia hidup dalam ketenangan. Dafa sudah merubah segalanya untuk menjadi lebih baik. Segala umpatan, makian, kekecewaan, dan kebencian yang ada dalam hidupnya sudah dia redam. Tapi lagaknya, kali ini dia tidak bisa lagi menahan semuanya.
Dan foto Finza dalam todongan pistol sudah meluluhlantahkan semuanya. Dafa berlarian panik menuju garasi sambil menelpon Darian. Naas, nomor itu tak kunjung menjawab panggilannya.
Darian boleh membunuhnya, tapi tidak dengan Finza. "Keparat! Brengsek! Queeen! Queeen, lo apain Queen, Dan? Sialan lo!" ditelponnya nomor itu berulang kali, tidak ada jawaban.
Makian Dafa sudah berada di ujung tenggorokan, tapi percuma sambungan itu tetap tidak terhubung. Berakhir Dafa meninju mobilnya sendiri.
Eza muncul dari rumah sebelah setelah mendengar keributan itu. "Berisik banget lo malem-malem, ada apa?!"
Entah apa yang harus Dafa katakan pada kakak iparnya itu. Dafa hanya bisa menatap Eza hampa. "Incha, Ja! Incha! Gue harus gimana, Ja?!" gemetaran diulurkan ponsel di tangannya.
Eza menatap Dafa tajam. "Maksud lo apa foto itu?!"
"Gue juga nggak tahu... gue bingung... gue panik...." Dafa berteriak putus asa. "Gue yakin Finza pasti lagi sama Dan sekarang! Entah apa tujuan dia ngelakuin ini gue juga nggak tahu! Tapi sekarang... sekarang... Finza dalam bahaya, Ja, gue harus gimana!"
"Brengsek! Kita telpon polisi sekarang! Ini ancaman pembunuhan, lo ngerti?!" menarik kerah kemeja Dafa kuat-kuat, Eza menumpukan emosinya di sana. Air mata Dafa membanjir turun. Tapi tak ada ampun. "Kalau sampai adek gue kenapa-kenapa, hubungan di antara kita berakhir, ngerti?! Udah dari lama gue nggak sreg sama keluarga kalian yang seenaknya, complicated, dan sok berkuasa! Adek gue udah berkorban banyak hal buat lo dan kakak lo yang jahanam itu? Kalau aja adek gue nggak terjerumus sama kalian, hidup dia pasti lebih bahagia?"
Dafa menatap Eza dengan tangisnya yang tak bersuara.
"Nggak usah lo nangis kayak orang tolol gini! Nggak ada gunanya! Lakuin sesuatu sekarang! Selamatin nyawa adek gue! Sekarang dia di sana sama psycho! Lo ngerti kakak lo itu psycho! Gila dia! Gila! Harusnya lo angkut ke rumah sakit jiwa dari dulu!"
Mauren yang mendengar keberisikan di depan rumah itu akhirnya muncul. Panik berlarian melerai Dafa dan Eza di sana. "Ada apa, sih, kalian?! Malu-maluin tetangga aja! Ja, masuk!"
Dafa menatap Mauren frustasi. "Ren, Incha! Ren, gue harus gimana?!"
"Incha kenapa?! Incha di mana?!"
"Dia sama Dan..." Dafa menunjukkan ponsel di tangannya gemetaran. Mauren memejamkan mata sesaat menahan amarah.
"Kenapa kalian malah berantem nggak berguna?!" jerit Mauren penuh amarah. "Aku telpon polisi sekarang! Ini kejahatan, ngerti?!"
"Kita harus kejar mobil Dan sekarang," suara Eza meninggi. "Gue nggak mau tahu, lo lacak mobil itu sekarang! Bukannya lo hacker terkenal?!"