Hari demi hari di Kanazawa berjalan lambat.
Pagi‑pagi, Yuto selalu membuatkan teh hijau hangat untuk Sena.
Kadang Sena hanya menatap uap teh itu, diam lama, sebelum akhirnya berterima kasih dengan suara yang nyaris tak terdengar.
“Aku nggak biasa dilayanin kayak gini…” bisik Sena.
“Nggak apa‑apa. Kamu butuh istirahat,” jawab Yuto singkat, sambil tersenyum tipis.
Sena menunduk, menahan haru.
Perutnya makin besar, napasnya makin berat, tapi entah kenapa, rasa sepi di dadanya sedikit demi sedikit jadi lebih ringan.
Suatu sore, hujan turun saat mereka baru pulang dari klinik.
Sena menahan perutnya sambil tergopoh, dan Yuto langsung membuka payung besar warna hitam.
“Kita jalan pelan‑pelan,” kata Yuto.
Jalanan basah memantulkan lampu kota.
Di bawah payung yang sama, jarak di antara mereka begitu dekat.
Jantung Sena berdetak lebih cepat, bukan karna jatuh cinta, tapi rasa aman yang ia rindukan.
Hujan membasahi kaki mereka, dan Sena menahan isak kecil, ingat masa‑masa Rafa pernah menggandeng tangannya.
Tapi ia sadar, sekarang yang memayungi dia adalah Yuto.
Malam‑malamnya, Sena masih sering menangis diam‑diam.
Kadang ia menatap foto lamanya bersama Rafa, tangannya mengusap layar ponsel pelan.
Suatu malam, Yuto melihatnya dari pintu.
“Maaf… aku belum bisa berhenti sayang sama dia…” suara Sena gemetar.
Yuto hanya menggeleng.
“Nggak apa‑apa. Luka itu butuh waktu. Aku di sini… bukan untuk gantiin dia. Cuma… supaya kamu nggak ngerasa sendirian.”
Sena menangis makin keras.
Dan untuk pertama kali, Yuto menghapus air mata Sena dengan telapak tangannya sendiri.
Perut Sena makin besar.
Yuto lebih sering menemaninya ke rumah sakit, menyiapkan bantal tambahan, bahkan belajar cara memijat punggungnya.
Suatu malam, mereka duduk di lantai, mengelus perut Sena yang bergerak pelan.
“Dia bergerak…” Sena tersenyum lemah.
“Dia kayaknya kuat, kayak ibunya,” bisik Yuto.
Sena menahan tangis.
“Aku nggak ngerasa kuat, Yuto…”
“Tapi kamu tetap bertahan. Itu cukup,” jawab Yuto.
Hari berganti minggu.
Yuto semakin sering terjaga semalaman hanya untuk memastikan napas Sena tetap teratur.
Kadang ia hampir membisikkan “Aku sayang kamu…” saat Sena tidur, tapi selalu ia telan kembali.
Ia tahu, di hati Sena masih ada Rafa.
Dan Yuto tak pernah punya niat untuk merebut tempat itu, hanya ingin menjaga agar luka Sena tak bertambah dalam.
Kadang Sena duduk sendiri di taman rumah sakit, menatap langit Kanazawa yang kelabu.
Yuto diam‑diam memotret dari jauh, tak berniat mengabadikan keindahan, tapi mengingatkan diri, inilah perempuan yang ingin ia jaga, meski tak pernah ia miliki.
Sena tersenyum tipis saat melihat Yuto datang membawa roti kacang merah.
“Kamu terlalu baik…”
“Kamu juga terlalu keras sama dirimu sendiri,” balas Yuto.
Mereka makan bersama, angin musim gugur meniup hijab Sena, dan untuk sekejap, ia merasa damai.
Dokter bilang waktunya sudah dekat.
Sena semakin sering merasa nyeri, keringat dingin mengucur saat malam.
Yuto duduk di samping ranjang, menenangkan Sena.
“Aku takut, Yuto…” bisik Sena lirih.
“Aku juga takut… tapi kamu nggak sendiri,” jawab Yuto.
Dan meski hatinya penuh cinta yang tak pernah ia ucapkan, Yuto selalu menjaga jarak.
Karena ia tahu, cinta Sena masih punya nama lain.
Siap ga mau tamat?
Aku udah nulis cerita ini sampe tamat aku cuma butuh vote dan komen kalian aja biar cepet di publish.
100 vote? deal? Langsung aku publish.
See u
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher is My Husband
Teen FictionFOLLOW BIAR TAU INFORMASI DARI AUTHOR! FYI: SAAT MENULIS INI SAYA BELUM TAHU PUEBI DI PART AWAL. Kebanyakan pembaca mengalami baper berkepanjangan. Bebas ngeluarin unek-unek kalian di komentar. Baper? Keluarin aja. BEBAS! -WARNING ⚠️PLAGIAT JANGAN K...
