79. Menjahit Luka Pelan Pelan

1.7K 111 33
                                        

Hujan gerimis turun di Kanazawa, membasahi jalanan batu di luar rumah
tempat Sena tinggal.
Udara sore menusuk sampai tulang, membuat siapa pun merapatkan jaket.

Di dalam rumah, Sena duduk di dekat jendela berbingkai kayu, menatap tetes hujan yang menempel di kaca.
Tangannya membelai perutnya yang sudah besar, napasnya berat, matanya sayu.
Kadang ia menunduk, menggigit bibir, menahan sesak yang tak pernah benar-benar hilang.

Yuto datang pelan, membawa secangkir susu hangat.
Ia tak berkata apa pun, hanya meletakkan cangkir di meja rendah di depan Sena.

"Minumlah... supaya lebih tenang." suaranya rendah, hampir seperti bisikan.

Sena mengangguk, mengambil cangkir itu dengan kedua tangan.

Hangatnya merambat ke jemari yang sejak tadi dingin.

"Terima kasih, Yuto... kamu selalu ingat..." suara Sena serak.

Mereka duduk berdua, diam, hanya mendengar suara hujan.

Kadang Sena mencuri pandang ke arah Yuto, lelaki yang selalu muncul saat ia membutuhkannya, meski tak pernah ia minta.

"Aku ini... aneh, ya?" tanya Sena tiba-tiba, suaranya nyaris patah.

"Kenapa?"

"Aku masih sayang sama dia... tapi juga.... Aku nggak tahu perasaanku sendiri..."

Yuto menunduk, menahan kata "Aku juga sayang kamu..." yang nyaris meluncur.

"Itu nggak aneh, Sena. Kamu cuma luka. Luka itu butuh waktu. Kadang... nggak pernah benar-benar sembuh, tapi setidaknya... nggak berdarah lagi."

Hujan semakin deras.

Sena menarik selimut tipis ke bahunya, menatap ke luar jendela yang mulai mengembun.

"Aku sering mikir... apa aku salah karena terlalu lama percaya..."

"Nggak salah. Salahnya cuma dia... yang nggak bisa jaga kepercayaanmu." jawab Yuto, suaranya pelan, tapi tegas.

Sena terdiam.

Air matanya jatuh, menetes ke cangkir susu yang sudah dingin.

Yuto nyaris mengulurkan tangan untuk menghapus air mata itu.
Tapi ia hanya mengepalkan jemari sendiri, menahan rasa yang selalu ia simpan.

Beberapa malam setelahnya, Sena terbangun karena nyeri di pinggang.
Nafasnya terengah, pelipisnya berkeringat.

Yuto langsung menghampiri, duduk di lantai di depannya.

"Sakit?"

Sena hanya mengangguk, matanya berkaca.

Yuto meraih botol air hangat, menempelkannya ke punggung Sena, tangannya berhenti di sana.

"Tarik nafas... pelan-pelan..." katanya, suaranya menenangkan.

Di tengah nyeri dan takut, Sena menangis pelan, gemetar.

"Aku takut, Yuto... kalau nanti aku nggak kuat..."

"Kamu kuat, Sena. Tapi kalau pun kamu nggak kuat... aku akan tetap di sini."

Air mata Sena jatuh makin deras.

Untuk pertama kalinya, ia bersandar di bahu Yuto, bahu yang selama ini hanya ia lihat dari jauh.

Hari demi hari, luka di hati Sena memang belum hilang.
Tapi perlahan, rasa percaya muncul lagi, dijahit pelan-pelan oleh kesabaran Yuto.

Tanpa ia sadari, setiap senyum kecilnya, setiap nafas lega saat tidur, adalah bukti,
Meski hatinya masih menyimpan luka atas nama Rafa... ada seseorang di Kanazawa yang dengan setia menjahit robekan itu, meski tahu takkan pernah memiliki.

Dan di setiap tusuk benang tak terlihat itu, ada nama Yuto... yang hanya disebut dalam hati.

Beberapa minggu lagi Sena akan melahirkan dan Yuto di izinkan oleh ayahnya untuk menjaga Sena langsung di apatonya, entah kenapa perasaan Yuto ingin menjaga Sena malah menjadi rasa yang lebih.

Bersambung....

Sena sama Yuto aja kah? Haha

100 vote langsung lanjut

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang