Setelah mandi, solat subuh, sarapaan dan memakai seragam.
Aku berangkat sekolah seperti biasanya.
Bagaimana nanti sikapnya padaku? Lalu, aku harus bersikap seperti apa?
Hari ini ada jam mata pelajaran matematika yang artinya Pak Rafa yang akan mengajar di kelas XII MIPA 3.
"Assalamu'alaikum." benar saja. Baru juga difikirkan kenapa tiba-tiba muncul.
"Wa'alaikumsalam" ucap anak-anak serempak.
Setelah membaca do'a sesuai kepercayaan masing-masing. Pak Rafa menyuruh untuk mengumpulkan tugas minggu lalu.
"Tugas minggu lalu, kumpulkan!." Ucapnya santai tapi menegangkan.
"Mampus! Aku lupa, Fan." Ucapku berbisik ke Fani.
"Ya udah kamu diem aja. Kayanya ga akan ketauan." Ujar Fani dan akupun menurutinya.
Setelah dapat intruksi dari Pak Rafa semua anak-anak maju ke depan untuk mengumpulkan tugas minggu lalu.
Hanya aku yang tidak mengumpulkan.
Semoga kali ini Allah menolongku.
Pak Rafa fokus mengoreksi tugas. Bollpoinnya bergerak dengan lincah ditangan kekarnya. Aku sibuk ditempat dudukku. Iya sibuk, sibuk memperhatikannya.
Tak lama mata elang itu menatapku.
Oh, Allah mengapa aku selalu ketahuan ketika aku sedang mempertatikan ciptaan mu yang sebentar lagi akan menjadi calon imamku.
Aku segera memutus kontak lensa dan pura-pura mengobrol dengan Fani.
"Sena, kenapa nilai kamu kosong?
Setelah saya cari, juga buku tugas kamu tidak ada?" Ucapnya seraya menantapku.
Aduh mampus!
"Em.. i-itu pak. Saya sudah mengerjakannya, tapi setelah saya cari, buku matematika saya ilang." Bohong sena.
"Pinjam catatan temanmu, lalu salin di buku barumu!" titahnya
"Jangan lupa ke kantor saya, saya akan memberikanmu tugas baru, sebagai hukuman."
Mengapa sekarang aku jadi langganan sekali ke kantor guru. Padahal sebelumnya tidak pernah.
"Kasih tugasnya di sini aja, pak," ucapku tidak setuju. Karna aku tidak mau berlama-lama berdua dengannya. Itu membuatku salah tingkah atas setiap prilakunya.
"Dikantor!" ulangnya.
"Ishhh," ucapku mendesis.
Setelah itu Pak Rafa memulai materi baru dan menjelaskannya secara rinci. Tapi, tetap saja aku tidak paham. Karna, aku sangat tidak suka dengan matematika.
Pak Rafa melihat absen.
"Sena Laila Akbar maju kedepan." Ucapnya memanggil namaku.
Jika sudah niat ingin memanggil namaku mengapa harus pura-pura melihat absen dulu. Huh!
"Sen, disuruh maju tuh," Fani menyenggol lenganku menggunakan sikunya.
"Iyah, Pak," ucapku seraya maju kedepan kelas dengan malas-malasan.
"Coba jelaskan ulang, apa yang tadi saya jelaskan kepada teman-teman mu." Ucapnya seraya duduk dengan santai.
Aduh bagaimana ini.
Tadi ketika Pak Rafa menjelaskan aku sama sekali tidak memperhatikan.
Aku melihat papan tulis yang di penuhi oleh angka dan rumus-rumus yang aku tidak mengerti.
Akhirnya aku hanya diam mematung didepan.
"Ada apa? Ayo jelaskan!" Ucapnya tanpa menoleh kearahku.
Aku harus menjelaskan apa? Aku saja tidak memperhatikan dan sama sekali tidak mengerti.
"Pak," panggilku.
"Emm," gumamnya.
"Bapak tahu tidak apa yang lebih sulit dari rumus matematika?"
"Tidak." Ucapnya datar.
"Memahami perempuan, Pak."
"Hahahahah," ucap teman-temanku di dalam kelas. Kelaspun menjadi ricuh karna godaan recehku.
"Diam!" ucapnya seraya menggebrak meja.
Ya Allah galak amat pak.
Dengan sekali hentakan, kelas tiba-tiba menjadi hening kembali.
Sungguh menakutkan.
Bagaimana nanti aku menjadi istrinya mungkin aku akan terkena serangan jantung karna bentakannya, yang sering mengagetkan.
"Kamu ini disuruh menjelaskan. Malah menggoda gurumu sendiri. Dimana etikamu!"
"Duduk!"
Tampan-tampan tapi menyeramkan, huh!
Bersambung....
Votenya biar tambah semangat:*
Siti Fatimah
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher is My Husband
Teen FictionFOLLOW BIAR TAU INFORMASI DARI AUTHOR! FYI: SAAT MENULIS INI SAYA BELUM TAHU PUEBI DI PART AWAL. Kebanyakan pembaca mengalami baper berkepanjangan. Bebas ngeluarin unek-unek kalian di komentar. Baper? Keluarin aja. BEBAS! -WARNING ⚠️PLAGIAT JANGAN K...
