Bukan kah mencintai itu mudah? Yang sulit itu melupakan.
_________________
Setelah selesai acara makan malam bersama.
Kami beralih duduk di ruang tamu untuk membicarakan waktu yang baik.
"Ekhem,,, jadi kapan kita langsungkan pernikahannya?" Ucap Ayah mencairkan suasana.
Aku membelangak menatap Pak Rafa yang dari tadi kelihatan biasa saja. Ingin sekali kupukul wajah datarnya itu.
"Lebih cepat, lebih baik." Ucap Abi.
Astagfirullah Abiiiii.
"Em, bagaimana kalo kita langsungkan setelah Sena lulus sekolah?" Ucapku memberi saran. Tidak mungkinkan jika harus menikah secepatnya, apalagi aku masih menyandang status sebagai pelajar.
Ayo dong Pak Rafa bicara. Bilang nanti aja nikahnya. Ayo bicara. Lama-lama aku jahit mulutnya agar tidak bisa bicara sekalian. Geregettttt.
Aku menatapnya meminta penjelasan. Agar ia membantuku menyetujui saranku.
"Kita langsungkan dua minggu lagi. Bagaimana?" Ucap Pak Rafa.
HAH! Aku melongo. Mataku hampir lepas karna tidak setuju dengan ucapannya.
Apa-apaan bukannya niat membantuku, malah niat menjerumuskan ku. HUH!
"Abi setuju!" Ucap Abiku.
Sedangkan yang lainnya hanya mengangguk dan tersenyum menyetujui saran Pak Rafa.
Aku masih menatapnya dengan tatapan tidak terima.
Kalo tau dia akan bicara seperti ini. Tadi saja aku biarkan dia untuk diam.
"Oke. Kita akan langsungkan dua minggu lagi." Ucap Ayah.
Oh, ya Allah. Bagaimana ini.
"Kalian bicarakan saja rencananya. Aku akan bicara sebentar dengan calon istriku." Ucapnya seraya menatapku.
Mengapa jantungku berdegup begitu kencang ketika dia memanggil 'calon istriku'. Pesona apa yang di pakai lelaki itu sehingga mudah sekali meluluhkan hatiku.
Bodoh! Mengapa aku secepat itu bisa luluh.
Aku melirik Ummi yng ngengedipkan sebelah matanya, aku tau Ummi sedang menggodaku.
Aku berjalan di belakangnya mengikuti kemana ia melangkah.
Ia berjalan menuju taman disebelah kolam renang.
'Duukk' suara bertabrakan.
'Aww' ucapku sambil memegang kening.
Aku tidak tahu dia berhenti. Aku yang sedang menunduk tidak sengaja terbentur oleh pungung kokohnya.
Pak Rafa segera membalikan badan.
"Kamu ini ceroboh sekali."
Agrhh, sebal sekali. Aku ingin seperti di sinetron-sinetron yang kalo kenapa-napa di tanya 'ada yang luka?' Atau 'kamu ga apa-apa kan, sayang?'. Sedangkan Pak Rafa tidak ada romantis-romantisnya sama sekali. Menyebalkan.
Eh? Untuk apa juga aku mengharpkan pak Rafa bersikap manis padaku? Sena tolong lah jangan berfikir yang tidak-tidak.
"Maaf, Aku tidak melihatnya."
Pak Rafa duduk dibangku taman dan aku duduk di sebelahnya.
"Pak?" Panggilku tanpa menoleh kearahnya.
"Em" jawabnya.
"Apa bicara itu bayar pak?"
"Tidak, memangnya kenapa?"
"Kenapa bapak sangat irit sekali dalam bicara?"
"Lebih baik diam dari pada harus membicarakan hal yang tidak penting."
Aku seolah tertohok oleh jawabannya.
"Bapak kenapa mau nikah sama saya?" Tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Hening. Tidak ada jawaban.
"Saya tidak kenal bapak dan saya juga tidak mencintai bapak."
"Saya juga tidak kenal kamu dan apa kamu fikir saya juga mencintaimu? Haha" ia tertawa renyah.
Benar-benar menyebalkan.
Tadi pagi aku baru bicara 'mungkin yang jadi istinya akan tekanan batin' mengapa sekarang aku yang harus menjadi calon istrinya? Ya Allah aku ingin mencabut kembali ucapanku tadi pagi.
"Masalah mencintai itu mudah. Jalani saja dulu." Ucapnya lagi.
Kali ini aku sedikit lebih tenang dengan ucapannya.
"Jika bapak tidak ingin semua ini berlangsung, mengapa bapak tidak menolak perjodohan ini saja?"
"Jika kamu tidak ingin, kamu juga bisa menolak khitbahanku, kan?"
Mengapa setiap aku bertanya, bukanya menjawab dia malah membalikan pertanyaan itu kepadaku.
Sebenarnya pertanyannya itu ada benarnya juga si. Aku kan bisa menolak jika tidak ingin. Tapi, aku sudah terlibat dalam janji Ummi. Aku tidak mungkin mengingkari dan mengecewakannya.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Karna, aku bingung aku harus menjawab apa.
"Apa kamu tega mengubah wajah bahagia mereka itu menjadi kecewa?" Ucapnya seraya menatap para keluarga dan bergantian menatapku.
Kuberanikan diri untuk menatap matanya.
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak."
"Maka dari itu kita jalani saja semua ini."
Aku mengangguk.
"Jadi istri yang patuh ya," ucapnya seraya menatap mata sena dengan tatapan lembut.
Ya Allah tolong aku tidak kuat.
"Cie pipinya merah gitu," ucapnya menggodaku.
Aku segera menutupi pipiku.
"Ih apaan si pak!"
Aku blushing. Is malu sekaliiii. Mengapa harus didepan dia si.
Bersambung.....
Jangan lupa vote biar tambah semangat:*
Siti Fatimah
KAMU SEDANG MEMBACA
My Teacher is My Husband
Novela JuvenilFOLLOW BIAR TAU INFORMASI DARI AUTHOR! FYI: SAAT MENULIS INI SAYA BELUM TAHU PUEBI DI PART AWAL. Kebanyakan pembaca mengalami baper berkepanjangan. Bebas ngeluarin unek-unek kalian di komentar. Baper? Keluarin aja. BEBAS! -WARNING ⚠️PLAGIAT JANGAN K...
