~•23. Pak Rafa Lovers•~

99.8K 5.8K 105
                                        

VOTE SEBELUM BACA!

Tak lama keluar dari kamar, ia datang lagi dengan membawa nampan yang di atasnya ada baskom dan teh manis hangat.

Aku hanya ingin tenang dan sedari tadi ia terus saja menggangguku.

"Kalo ga mau minum jamu, minum dulu tehnya." Ucapnya seraya mengaduk-aduk teh yang masih mengebul.

"Iya. Taruh saja, masih panas." Jawabku.

"Nih kompres perutnya, katanya bisa menghilangkan nyeri." Ucapnya seraya memeras kain dari dalam baskom.

"Bapak tau dari mana?" Ucapku bertanya. Pasalnya ko ia bisa tau?

"Saya ini guru," ucapnya.

"Oh." Ucapku singkat. Saat mengatakan itu saja aku sudah tau bahwa ia akan membanggakan dirinya dengan status guru.

"Ya udah sana bapak keluar," ucapku.

Jika pak Rafa di sini terus bagaimana bisa aku mengompersnya?

"Ya sudah," ucapnya.

"didalam plastik juga sudah ada pembalut." Ucapnya sebelum benar-benar keluar dari kamar.

Hah? Dia membelikan pembalut segala?

Aku masih diam terpaku. Pipiku bersemu karena malu. Bodoh! Bodoh! Bodoh!

Tapi tidak pa-pa si, karna pembalutku baru saja habis.

Kemudian aku mengambil plastik itu dan membukanya.

Benar saja ada satu bungkus pembalut wings dan dua buah coklat.

Aku memang sangat-sangat menyukai coklat. Entah mengapa. Mungkin karena rasanya manis dan bisa mengembalikan mood juga.

~•°∞°∞°∞°•~

Setelah dikompres, dan perutku sudah agak mendingan, aku segera naik ke lantai paling atas. Disana ada tempat kerja pak Rafa dan banyak buku-buku tebal bertumpuk-tumpuk sudah seperti perpustakaan.

Tok...
Tok...
Tok...

"Pak?" Panggilku.

Aku mengetuk pintu ruangan kerja Pak Rafa.

"Masuk." Ucapnya.

Setelah mendapatkan izin kemudian aku masuk.

Pak Rafa sedang berkutat dengan bolpoin merah dan buku bertumpuk-tumpuk.

Mungkin sedang mengoreksi soal-soal anak muridnya.

"Udah mendingan?" Tanyanya seraya menatapku.

Aku hanya mengangguk lugu.

Aku mengambil bangku yang ada dipojok ruangan, dan membawanya kesebelah pak Rafa.

"Sana istirahat saja." Ucapnya.

"Ga pa-pa Sena udah mendingan kok," ucapku meyakinkanya. Padahal masih sedikit nyeri. Tapi tidak apa-apa.

Aku iseng membuka laci meja kerjanya.

Aku sangat kaget ketika melihat banyak sekali kado yang berjejer. Dan belum sama sekali di buka.

"Pak ini apa?" Tanyanku ingin tahu

"Kado." Ucapnya singkat seolah tidak peduli.

"Dari siapa?" Tanyaku tambah kepo.

"Murid." Lagi-lagi jawabanya singkat.

"Banyak banget!" Ucapku.

"Itu belum seberapa, sebagiannya sudah saya buang," ucapnya yang masih terus mencoret-coret buku. Entah apa yang ia coret aku juga tidak tahu. Lebih tepatnya tidak ingin tahu.

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang