~•20. Ana Uhibbuka Fillah•~

99.3K 5.4K 36
                                    

"Ana Uhibbuka Fillah, Pak."

-Sena Laila Akbar

°∞°∞°∞°

Kami sudah pindah rumah dari dua bulan yang lalu. Rumah mewah bercat Emas berpaduan Putih. Jika dilihat dari jauh, rumah ini memang sangat elegant dan mewah.

"Pak apa rumah ini tidak terlalu kebesaran untuk kita yang hanya tinggal berdua?" tanyaku setelah melihat rumah yang bertingkat dua ini.

"Aku rasa tidak, nanti akan diisi oleh banyak anak-anak," ucapnya yang masih berjalan di depanku dan aku mengikutinya untuk masuk kedalam rumah bak istana ini.

"Anak-anak? Anak siapa?" Tanyaku bingung.

"Anak kita." Ucapnya yang masih terus berjalan dengan santainya.

Aku menghentikan langkahku dan menegukan salivan beberapa kali.

Anak? Anak-anak? Ucapan pak Rafa masih terngiang dikepalaku. Bahkan aku belum sempat memikirkan sampai ke situ. Anak adalah titipan Allah yang harus kita rawat dan jaga. Tapi, aku belum sempat memikirkan apakah pak Rafa akan segera memiliki momongan atau tidak.

Pak Rafa menutup Laptopnya dan merebahkan diri dikasur.

"STOP!" Ucapku menghentikan pergerakannya.

Dan benar saja ketika aku berteriak Pak Rafa langsung berhenti dan raut mukanya seolah bertanya.

"Kenapa?" ucapnya. Tuhkan benar saja pasti dia akan bertanya.

"Bapak tidur di sofa aja!" Ucapku seraya menutup buku dan menaruhnya asal.

"Ga mau." Ucapnya yang menutup diri dengan selimut.

"Pak!" Aku memanggil dan menarik selimut yang menutupinya. Dan mendorongnya agar menjauh dari tempat tidurku.

Aku masih marah saat ini. Dan tidak mau tidur dengannya.

"Apa," ucapnya santai.

"Tidur disofa!" Bentakku.

"Kenapa si? Marah sama aku?" Tanyanya yang mulai memperlihatkan kepalanya.

"Gak!" Ucapku singkat.

"Biasanya kalau perempuan bilang ngga itu berati iya. Dan kalo bilang iya berati ngga. Bener ga?" Ucapnya yang masih santai di tempat tidur.

"Apa si pak! Udah sana cepetan!" Ucapku.

"Ye, orang aku baca dari tweet." Ucapnya seraya bangun dan pindah menuju sofa.

"Ettt, ga boleh bawa selimut dan bantal." Ucapku seraya menarik selimut dan bantal yang ia bawa.

"Kan dingin, Sen." Ucapnya memelas.

"Masa bodo." Ucapku bodo amat.

Aku merasa berdosa. Karena, telah memperlakukan suamiku seperti itu. Tapi yang sekarang kurasakan adalah perasaan kesal. Dan ingin sekali rasanya balas dendam.

-°∞°∞°∞°-

Malam-malam aku terbangun dan melihat jam di ponselku.
Jam menunjukan pukul satu malam. Aku melirik kearah sofa.

Terlihat pak Rafa sedang meringkuk kedinginan. Memang suhu di ruangan ini sangat dingin bahkan aku yang mengenakan selimut saja dinginnya masih bisa menembus. Apalagi pak Rafa yang bersentuhan langsung dengan kulitnya.

My Teacher is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang